Hari Pers Nasional (Seharusnya Bukan) Sekedar Seremonial Musiman

Wartawan diklaim akan memperingati Hari Pers Nasional (HPN) setiap tanggal 9 Februari.

9 Februari sebagai HPN ini sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) nomor 5/1985 tentang Hari Pers Nasional.

Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa tanggal 9 Pebruari (tertulis bukan Februari) sebagai Hari Pers Nasional.

Pasal 2 menyebutkan bahwa hari Pers Nasional bukan hari libur.


Dalam praktiknya, bukan hanya wartawan yang memeriahkan HPN.

Instansi pemerintah pun ramai-ramai turut merayakan HPN.

Bahkan ada pemerintah daerah (Pemda) yang menggelontorkan dana khusus dari APBD untuk perayaan HPN.

Setiap tahun perayaan HPN selalu meriah.

Seluruh elemen pemerintah turut hadir dalam HPN, mulai kepolisian, TNI, sampai Pemda.

Selama ini pemerintah, polisi, TNI, dan aparat penegak hukum lain sering menganggap wartawan sebagai mitra atau sahabat.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mitra adalah (1) teman, sahabat; (2) kawan kerja, pasangan kerja, dan rekan.

Sesuai definisi ini, tentu tidak tepat bila wartawan menjadi mitra atau sahabat dari pemerintah, polisi, TNI, dan aparat penegak hukum lain.

Tugas atau kerja wartawan berbeda dengan pemerintah, polisi, TNI, dan aparat penegak hukum lain

Tugas dan kerja memiliki dasar hukum, pedoman, kaidah, dan kode etik yang berbeda dengan pemerintah, polisi, TNI, dan aparat penegak hukum lain.

Tapi, tugas dan kerja wartawan sering bersinggungan dengan pemerintah, polisi, TNI, dan aparat penegak hukum lain.

Misalnya, untuk menggali data, kofirmasi, dan sebagainya.

Saya kurang sependapat bila wartawan dianggap sebagai mitra atau sahabat dari pemerintah, polisi, TNI, dan sebagainya.

Justru munculnya slogan ini mengubah pola kerja wartawan sekarang.

Media massa hanya didominasi komentar pejabat.

Warga atau publik hanya mendapat porsi sangat sedikit di media massa.

Meskipun ada suara dari publik, biasanya diwakili oleh DPRD, LSM, atau organisasi lain.


Padahal karakteristik anggota DPRD, LSM, dan organisasi cenderung bermental pejabat.

Bagi saya, wartawan adalah wartawan. Wartawan bisa bermitra atau sahabat dengan siapa saja, termasuk tukang parkir, tukang becak, dan sebagainya.

Dalam pengamatan saya, pejabat yang mengucapkan "wartawan sebagai mitra atau sahabat" pasti ada maunya, atau istilahnya ada udang di balik batu.

Sebagaimana namanya, wartawan memiliki kemampuan untuk mewartakan untuk informasi kepada khalayak.

Pejabat tentu berkepentingan program atau kegiatannya dapat diketahui oleh khalayak.

Makanya pejabat menjadikan wartawan sebagai mitra atau sahabat untuk mewartakan program atau kegiatan kepada khalayak.

Setiap akan menggulirkan program atau kegiatan, pejabat pasti sibuk mengumpulkan wartawan, misalnya rilis kasus.

Bahkan ada pejabat yang rela menunda atau mengubah jadwal rilis hanya karena mayoritas wartawan sedang ada kegiatan lain.

Slogan 'wartawan sebagai mitra' dan 'wartawan sebagai sahabat' hanya untuk kepentingan pejabat.

Bila wartawan memiliki kepentingan untuk konfirmasi berita sensitif, banyak pejabat yang mencoba menghindari wartawan.

Dalam beberapa kasus, wartawan juga sering menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh bagian dari pemerintah, polisi, TNI, dan aparat penegak hukum lain.

Dilansir dari advokasi.aji.or.id, puluhan wartawan menjadi korban kekerasan setiap tahun.

Total ada 895 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia sejak tahun 2006.

Perlu diketahui, 895 kasus itu terjadi ketika wartawan sedang melakukan kerja jurnalistik.

Ada wartawan yang dipaksa menghapus foto atau video, ada yang dipukul, ada yang disekap, dan sebagainya.

Dari total kasus itu, AJI juga memunculkan 'Musuh Kebebasan Pers'.

Polisi mendominasi musuh kebebasan pers yang diumumkan oleh AJI.

Selain polisi, ada juga musuh kebebasan lain, yaitu DPR RI tahun 2012, dan MNC Group TN One, dan Metro TV tahun 2014.

Kebebasan pers dan independensi pers masih menjadi pekerjaan rumah (PR) yang harus menjadi sorotan dan penyelesaian.

Tapi, masalah ini kurang mendapat perhatian dalam perayaan HPN dari tahun ke tahun.

Misalnya HPN tahun 2022 yang mengangkat tema Sultra Jaya Indonesia Maju.

Dilansir dari tirto.id 'Hari Pers Nasional 2022: Tema PeringatanHPN 9 Februari', isu jurnalistik yang diangkat dalam HPN tahun ini adalah keberlanjutan media, publisher right, dan kedaulatan digital.

Sedangkan isu lainnya tidak terkait langsung dengan isu jurnalistik, misalnya kontribusi pada pembangunan di daerah.

Sebelumnya, HPN 2021 mengangkat tema 'Bangkit dari Pandemi, Jakarta Gerbang Pemulihan Ekonomi, Pers sebagai Akselerator Perubahan'.

Lagi-lagi kebebasan pers dan independensi pers kurang mendapat perhatian dalam perayaan HPN.

HPN dari tahun ke tahun tak ubahnya hanya seremonial yang memanfaatkan dana dari kas negara, baik di level nasional maupun level lokal.


Dalam forum seremonial HPN, bisa jadi wartawan bisa akrab dengan pejabat, baik dari unsur pemerintah, polisi, TNI, dan sebagainya.

Tapi ketika sedang menjalankan tugas jurnalistik, wartawan bisa tidak lagi menjadi mitra atau sahabat dari pejabat.

Bahkan bisa jadi wartawan adalah musuh dari pejabat.

Makanya jangan heran bila banyak kasus kekerasan terhadap jurnalistik yang tidak tuntas.

Comments