Pak, Bagaimana Agar Polisi Bisa Memproses Laporan Saya?

"Pak, Bagaimana Agar Polisi Bisa Memproses Laporan Saya?"

Kata seorang wanita dari seberang telepon.

Saya tidak mengenal wanita itu.

Wanita itu mengaku mendapat nomor teleponku dari seseorang yang pernah berjumpa denganku.


Wanita itu sempat bercerita singkat terkait masalahnya.

Dia mengaku menjadi korban perusakan oleh seseorang yang dikenalnya.

Ada warga yang menyaksikan aksi perusakan itu, termasuk ketua RT.

Setelah kejadian, wanita itu memotret bagian rumah yang telah dirusak oleh pelaku.

Kemudian dia melaporkan aksi perusakan tersebut ke polsek.

"Tapi, polisi hanya bertanya-tanya saja. Dia tidak memeriksa saya," kata wanita itu.

Dia terlihat kecewa pada pelayanan polisi di Polsek.

Padahal dia ingin polisi memproses laporan aksi perusakan itu, dan menindak pelakunya.

Saya menyarankan wanita itu melapor ke Polres.

Biasanya, polisi di Polres akan melimpahkan kasus perusakan ke Polsek.

Makanya saya minta wanita itu menceritakan detail aksi perusakan yang dialaminya, termasuk laporan yang tidak direspon oleh anggota Polsek.

Wanita itu mengaku sempat memotret benda-benda yang dirusak.

Idealnya, dua alat bukti bisa memperkuat tindak pidana yang terjadi.

Tapi, adanya dua alat bukti tidak menjadi jaminan untuk menjerat pelaku.


Semua tergantung itikad dari polisi.

Bila polisi serius, saya yakin pelaku bisa masuk penjara.

Sebaliknya, kasus tersebut tidak akan berimbas apapun bila polisi tidak serius menangani kasus tersebut.

Sudah bukan rahasia lagi bila polisi sering kurang serius menanggapi laporan warga.

Kasus di Jakarta menjadi bukti. Korban perampokan malah mendapat perlakuan kurang mengenakkan saat melapor ke polisi.

Penghentian kasus tanpa sepengetahuan atau tanpa persetujuan dari korban hanya membuat korban sakit hati.

Korban merasa percuma melapor ke polisi.

Beberapa waktu lalu tanda pagar (tagar) #PercumaLaporPolisi sempat trending topic di media sosial.

Tagar ini menjadi bukti kekecewaan publik pada kinerja kepolisian.

Secara pribadi, saya juga pernah menjadi korban yang merasakan tidak berfaidahnya melapor ke polisi.

Sejak melapor kehilangan motor pada tahun 2003, saya tidak pernah mendapat update kasus tersebut.

Sekarang mengumbar kasus di media sosial sudah menjadi tren.

Warga lebih percaya 'melapor' ke media sosial daripada ke polisi.

Biasanya, polisi atau pemerintah baru bertindak setelah kasus tersebut viral di media sosial.

Kasus mahasiswi yang bunuh diri di Mojokerto, misalnya.

Andai kasus yang dialami mahasiswi tersebut tidak viral, bisa jadi polisi akan menghentikan kasus tersebut.

Apalagi keluarga sudah menerima kematian mahasiswi tersebut sebagai musibah.

Tidak lama setelah kematian mahasiswi itu, ada orang yang mengumbar kasusnya di media sosial.

Ternyata mahasiswi itu bunuh diri karena ada masalah dengan pacarnya yang juga anggota polisi aktif.

Selama pacaran dengan polisi itu, mahasiswi itu disebut sudah dua kali aborsi.

Akhirnya kasus ini viral, dan polisi bertindak.

Mantan pacar korban lagsung ditahan karena diduga terlibat dalam kasus aborsi.

Mengumbar kasus di media sosial butuh keberanian.

Hanya orang bernyali besar yang mau mengumbar kasus di media sosial.

UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) masih menjadi momok menakutkan bagi masyarakat yang ingin mengumbar kasus di media sosial.

Seperti kasus dosen yang mencabuli mahasiswi di Sumatera beberapa waktu lalu.

Setelah korban melapor, pelaku malah melaporkan balik korban ke polisi.

Pelaku menganggap korban melanggar UU ITE karena mengumbar kasus tersebut di media sosial.

Beruntung pelaporan menggunakan UU ITE tersebut tidak sampai berlanjut.

Tapi, sudah banyak orang yang menjadi tersangka pelanggaran UU ITE setelah mengumbar kasus di media sosial.

Inilah dilema demokrasi di Indonesia.

Satu sisi, masyarakat sudah tidak percaya eksekutif, legislatif, judikatif, dan wartawan akan bekerja untuk kepentingan publik.

Di sisi lain, ada pasal karet yang berpotensi menjadi ancaman bagi masyarakat yang ingin mencari keadilan menggunakan caranya sendiri.

Lalu bagaimana agar polisi bisa segera segera memproses laporan tindak pidana?

Bila pelaku adalah masyarakat sipil, maka korban melapor ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT).

Bila pelaku adalah polisi aktif, maka korban melapor ke SPKT dan Propam.


Sedangkan bila pelaku adalah anggota TNI, maka korban melapor ke Polisi Militer.

Sebenarnya masyarakat sudah tahu jawaban dari pertanyaan di atas.

Tapi, masyarakat bingung mencari media paling efektif untuk mendapat keadilan.

Sesuai sistem peradilan, seharusnya warga melapor ke polisi atau Polisi Militer bila menjadi korban tindak pidana.

Bila laporan tersebut disertai minimal dua alat bukti, polisi atau Polisi Militer bisa melanjutkan proses hukum.

Polisi atau Polisi Militer bisa menghentikan kasus tersebut bila tidak didukung alat bukti cukup atau ada upaya lain secara legal agar kasus tersebut berhenti.

Penghentian kasus tersebut harus dengan sepengetahuan dan dengan persetujuan dari korban.

Bila tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan, korban akan menganggap ada faktor X di balik penghentian kasus tersebut.

Kekecewaan inilah yang menjadi pemicu korban mengumbar kasus di media sosial.

Comments