Absurditas Penghargaan

Umumnya seseorang akan bangga ketika mendapat penghargaan.

Apalagi penghargaan tersebut berasal dari lembaga kredibel atau lembaga besar.

Pasti penghargaan tersebut akan langsung diumumkan ke publik.

Bila peraih penghargaan adalah instansi pemerintah, pasti langsung diumbar ke media sosial dan media massa.

Bila perlu, instansi tersebut melobi media massa untuk memuat berita raihan penghargaan tersebut, baik berupa iklan, service iklan, atau tanpa embel-embel.

Bila peraih penghargaan adalah pribadi atau individu, tentu harus berpikir ulang untuk mempublikasikan melalui media massa.

Mau pasang iklan, peraih penghargaan tersebut harus siap-siap mengeluarkan uang dari kantong pribadi.

Mau mendapat service iklan, tentu tidak mudah.

Apalagi bila peraih penghargaan tersebut jarang atau tidak pernah memasang iklan besar.

Memasang iklan saja tidak pernah, apalagi mendapat service iklan.

Yang paling memungkinkan hanya mempublikasikan melalui media sosial.

Tentunya publikasi melalui media sosial tidak semasif publikasi melalui media massa.

Mungkin hanya pengikut (followers) atau teman di media sosial yang mengetahui publikasi penghargaan tersebut.

Beruntung bila ada warganet lain yang turut menemukan publikasi tersebut melalui mesin pencari atau sumber lain.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), penghargaan berarti perbuatan (hal dan sebagainya) menghargai; penghormatan.

Bagi penerima penghargaan, apresiasi tersebut sebagai hasil dari kerja keras yang telah dilakukannya.

Tapi bagi pemberi penghargaan, apreasiasi tersebut belum tentu an sich menghargai hasil kerja keras seseorang atau lembaga.

Hari ini saya membaca tiga berita terkait pemberian penghargaan kepada tokoh publik atau instansi pemerintah, yaitu gubernur, wali kota, dan pemerintah kota.

Saya tidak membaca tiga berita tersebut sampai habis.

Saya hanya membaca langsung pada inti berita, yaitu sosok penerima penghargaan, jenis penghargaan, dan lembaga yang memberi penghargaan.

Setelah mengetahui tiga item tersebut, saya teringat tiga pola pemberian hadiah dari beberapa perusahaan media di Jawa Timur beberapa waktu lalu.

Pola pertama, penghargaan untuk pemasang iklan setia.

Bagi perusahaan media, iklan menjadi sumber pendapatan terbesar.

Media cetak tidak bisa tidak mengandalkan pendapatan dari oplah penjualan surat kabar.

Bahkan bisa jadi perusahaan media harus merugi untuk mencetak surat kabar.

Makanya perusahaan media akan merawat hubungan baik dengan pemasang iklan setia.

Sejumlah media massa menggantungkan pendapatan iklan besar dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah.

Selain intensitas komunikasi, pemberian penghargaan termasuk cara merawat hubungan baik dengan pemasang iklan besar.

Tentunya perusahaan media tidak vulgar memberi penghargaan kepada pemasang iklan setia.

Artinya, penghargaan tersebut dibuat seolah-olah diberikan bukan karena penerima penghargaan rutin memasang iklan di perusahaan media.

Penghargaan bisa dikamuflasekan dengan capaian atau hasil kerja penerima penghargaan.

Misalnya, penerima penghargaan dianggap sukses membangun smart city atau kota cerdas.

Pola kedua, penghargaan berbayar.

Pola kedua ini berbeda dengan pemberian penghargaan pola pertama.

Pemberian penghargaan pola kedua ini tidak harus ditujukan kepada pemasang iklan setia.

Orang yang tidak pernah muncul di media massa pun bisa mendapat penghargaan dari perusahaan media.

Bahkan orang yang tidak memiliki prestasi menonjol pun bisa mendapat penghargaan dari perusahaan media.

Calon penerima penghargaan cukup membayar dengan nominal tertentu untuk apresiasi tersebut.

Bagi pemberi penghargaan, ada dana yang masuk ke perusahaan.

Bagi penerima penghargaan, ada gengsi dan pengakuan dari dana yang telah dikeluarkannya.

Pola ketiga, penghargaan untuk pemasang iklan setia sekaligus berprestasi

Pola ketiga ini merupakan perpaduan dari pemberian penghargaan pola pertama dan pola kedua.

Artinya, penerima peghargaan tersebut merupakan pemasang iklan setia, sekaligus memiliki prestasi.

Tentunya penentuan prestasi ini memiliki parameter yang dapat dipertanggungjawabkan.

Misalnya, wali kota A mendapat penghargaan karena mampu meraih Piala Adipura sebanyak lima kali berturut-turut. 

Pola keempat, peghargaan sebagai prestasi

Pemberian penghargaan pola keempat ini berbeda dengan pola lainnya.

Perusahaan media murni mengapreasi tokoh atau instansi karena prestasi atau kerja kerasanya.

Tidak ada embel-embel apapun di balik pemberian penghargaan tersebut, baik iklan, membayar, sumbangan, dan sebagainya.

Dari empat pola pemberian penghargaan tersebut,  masyarakat jangan langsung gumun (terkagum-kagum) bila ada tokoh publik atau instansi menerima penghargaan dari peruahaan media.

Masyarakat perlu berpikir dulu terkait latar belakang pemberian penghargaan dan hubungan antara pemberi penghargaan dengan penerima penghargaan.

Kalau kesulitan menelusuri latar belakang dan hubungan pemberi dengan penerima penghargaan, cukup perhatikan porsi pemberitahaan di media massa tersebut.

Kalau media massa tersebut sering mengunggah iklan dari penerima penghargaan, berarti pemberian apresiasi tersebut ada kaitan dengan 'kue' iklan rutin.

Tapi, tidak semua media tegas menerapkan pagar api atau firewall.
Berita iklan yang seharusnya dibedakan dengan produk jurnalistik, malah dimuat seolah-olah karya jurnalistik.

Bila kondisinya seperti ini, cukup perhatikan porsi pemberitaan di media massa tersebut.

Bila media massa tersebut sering mengunggah berita landai dan jarang kritis, ada kemungkinan pemberian penghargaan terkait dengan iklan.

Atau minimal perusahaan media tersebut berharap mendapat iklan dari penerima penghargaan.

Bagi saya, penghargaan adalah absurditas.

Absurditas penghargaan karena penghargaan sering tidak disertai dengan parameter yang dapat dipertanggungjawabkan.

Bahasa halusnya adalah 'keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat'.

Comments