Berita Mbulet Bernama Hukum Perdata

"Saya akan diperiksa polisi terkait berita eksekusi vila," kata seorang wartawan dari seberang telepon.

Sebelum saya bertanya lebih lanjut, wartawan itu bercerita kronologi sampai berita menjadi dasar untuk pemeriksaan.

Si wartawan menjelaskan bahwa berita itu bukan dalam bentuk tulisan, tapi live streaming di akun media sosial media massa.


Karena live streaming di akun media sosial media massa, hasil live streaming tersebut merupakan karya jurnalistik.

Jadi, wartawan itu diperiksa sebagai wartawan, bukan sebagai individu.

Seharusnya manajemen perusahaan media yang bertanggung jawab terhadap berita itu.

Bila wartawan yang harus menjalani pemeriksaan, minimal ada pendampingin dari manajemen perusahaan.

Sebelum menelepon aku, wartawan itu mengaku sudah menghubungi atasan atau editor.

Saat liputan, wartawan itu mewancarai semua pihak yang terlibat dalam sengketa vila tersebut, mulai dari pemenang lelang, orang yang menempati vila tersebut, sampai eksekutor.

Seharusnya berita tersebut sudah berimbang alias cover both site.

Tapi setahun setelah meliput berita itu, wartawan itu mendapat informasi terkait pemeriksaan tersebut.

Berarti ada jeda setahun sampai berita itu menjadi permasalahan.

Menurut wartawan itu, pelapor kasus tersebut adalah pihak koperasi yang dirugikan atas pernyataan penghuni vila saat diwawancarai via live streaming.

Tapi, wartawan itu tidak menjelaskan kapan pihak koperasi itu melapor ke polisi.

Menurut saya, inilah risiko liputan kasus perdata.

Sebelum liputan kasus perdata, seharusnya wartawan menyadari risiko dari liputan tersebut.

Liputan kasus perdata tidak hanya berhenti saat jumpa pers atau kejadian.

Bisa jadi kasus tersebut masih akan berlanjut beberapa hari setelah jumpa pers atau kejadian.


Saya menganggap kasus perdata merupakan berita mbulet.

Saya tidak menemukan kata padanan 'mbulet' dalam Bahasa Indonesia.

Saya telusuri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun tidak ada kata 'mbulet'.

Mungkin kata yang hampir sepadan adalah ruwet.

Dalam KBBI, ruwet adalah kusut, kalut, sulit, dan rumit.

Kusut berarti (1) tersimpul jalin-menjalin tidak karuan hingga sulit diuraikan; (2) kacar, tidak teratur; (3) rumit, rusuh, dan bingung.

Kalut berarti (1) kusut tidak keruan, kacau; (2) kacau pikiran dan berkata tidak keruan.

Sulit berarti (1) sukar sekali, susah (diselesaikan, dikerjakan, dan sebagainya); (2) susah dicari, jarang terdapat; (3) dirahasiakan (sukar diketahui dan sebagainya, tersembunyi; (4) gelap (rahasia, tidak terang-terangan); (5) dalam keadaan yang sukar (genting, gawat, dan sebagainya.

Rumit berarti sulit, pelik, sukar, dan  susah.

Kata 'mbulet' berasal dari Bahasa Jawa untuk menggambarkan proses yang tidak mudah untuk mencari solusi atau titik temu.

Berita kasus perdata mbulet karena pihak-pihak yang terlibat konflik sulit untuk menemukan titik temu.

Meskipun hari ini konfirmasi sudah lengkap, bisa jadi pihak yang terlibat akan klarifikasi lagi untuk memberi keterangan terkait penjelasan pihak lawan.

Misalnya, hari ini wartawan sudah konfirmasi si A dan si B yang terlibat dalam kasus tersebut.

Bisa saja besok si B memberi penjelasan lagi untuk melawan penjelasan si A.

Besoknya, si A akan melawan penjelasan si B.

Media massa seakan menjadi ajang perang opini dan klaim kebenaran (truth claim) oleh pihak yang terlibat dalam kasus tersebut.

Bahkan perang opini dan klaim kebenaran akan terus berlangsung sampai proses peradilan.

Makanya saya paling tidak senang liputan berita kasus perdata.

Liputan kasus perdata akan menghabiskan energi dan pikiran.

Ada perusahaan media yang menganjurkan wartawan tidak meliput kasus perdata.

Kecuali bila kasus perdata tersebut memiliki nilai berita tinggi.

Nilai berita ini menjadi tolak ukur utama untuk peliputan dan publikasi hasil liputan.

Bila nilai berita dari kasus perdata itu sangat kecil, lebih baik wartawan mengabaikan kasus tersebut.

Tapi bila kasus perdata tersebut memiliki nilai berita tinggi, wartawan bisa meliput kasus tersebut.

Misalnya kasus penggusuran yang melibatkan warga banyak.

Wartawan tetap harus hati-hati dalam peliputan berita perdata.

Wartawan harus menyaring dan memverifikasi segala informasi yang diterima.

Jangan sampai wartawan hanya menjadi corong untuk klaim kebenaran atau ajang perang opini.

Lebih gampangnya, wartawan jangan hanya mengandalkan 'talking news' atau berita cangkeman alias wawancana dalam menggali informasi.

Wartawan perlu menggali dokumen atau menelusuri rekam jejak kasus tersebut.

Dalam sepekan ini saya menunda penayangan berita kasus perdata.

Berita pertama adalah berita perebutan swalayan milik keluarga.

Berita kedua adalah berita perebutan hak asuh anak.

Si wartawan hanya konfirmasi ke satu pihak.

Ada dsclamer bahwa 'pihak kedua tidak bisa dikonfirmasi' pada berita pertama.

Sedangkan pada berita kedua tidak mencantumkan disclamer tersebut.

Sebelum menunda penayangan, saya kirim pesan singkat ke si wartawan.

"Kalau menulis berita harus berimbang, terutama kasus perdata. Harus ada konfirmasi dari pihak lawan. Saya pending berita itu sampai ada konfirmasi dari pihak lawan," kataku kepada si wartawan.

Sampai saya membuat tulisan ini, si wartawan belum mengirim konfirmasi atau komentar dari pihak kedua untuk dua berita tersebut.

Saya pun belum mengunggah dua berita itu.

Saya menganggap penundaan berita ini sebagai utang.

Saya baru akan mengunggah berita tersebut bila suatu saat si wartawan mengirim konfirmasi atau komentar dari pihk kedua. 


Tanpa adanya konfimasi dari pihak lawan, berita tersebut rawan terseret ke ranah hukum, misalnya kena somasi, pencemaran nama baik, dan sebagainya.

Bukan hanya tidak berimbang yang membuat saya menunda penayangan berita itu.

Persamaan dari dua berita itu adalah sama-sama mengungkap konflik di dalam keluarga.

Saya menganggap dua berita itu sama-sama tidak memiliki dampak besar dan tidak mewakili kepentingan publik.

Makanya saya berani menunda penanyangan dua berita itu.

Berbeda bila wartawan mau mencari konfirmasi ke pihak lawan.

Meskipun tidak berdampak besar dan tidak mewakili kepentingan publik, saya tetap akan mengunggahnya.

Dalam konteks ini, saya menghargai kerja wartawan yang mau mencari konfirmasi atau komentar dari pihak kedua.

Bila suatu saat ada pihak yang mempermasalahkan berita tersebut, minimal wartawan sudah menghubungi dan menulis komentar dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik.

Comments