Di Balik Kampanye 'Jangan Sebar Berita Covid-19'

Sempat beredar kampanye 'jangan sebar berita Covid-19' di media sosial.

Berita tentang Covid-19 dianggap memicu atau meningkatkan stres di era pendemi.

Sebenarnya, setiap orang berhak mengkampanyekan keyakinannya.

Tapi, kampanye 'jangan sebar berita Covid-19' bukan solusi mengatasi stres di era pandemi.


Pandemi memang memicu dan meningkatkan stres.

Apalagi banyak kebijakan yang membatasi kegiatan masyarakat, mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Dampak kebijakan ini sangat kompleks dan panjang.

Meskipun pendapatan menurun, tapi masyarakat tetap memenuhi kebutuhan hidupnya, mulai dari makan, membayar kredit, dan sebagainya.

Saat dalam kondisi stres seperti ini, muncul kampanye 'jangan sebar berita Covid-19'.

Saya memunculkan kampanye ini terkait pemberitaan angka kasus Covid-19, baik di tingkat daerah maupun nasional.

Padahal wartawan tidak hanya menulis berita soal angka kasus Covid-19.

Wartawan juga menulis berita lain yang terkait dengan Covid-19, misalnya pemberian bantuan sosial, subsidi gaji, vaksinasi, dan sebagainya.

Dalam konteks ini, saya membedakan antara berita dan informasi.

Baca juga : Dari Doa Ya Allah Berilah Aku Rezeki yang Berkah

Berita adalah informasi yang telah melalui proses verifikasi dan konfirmasi.

Wartawan yang bisa menjalankan fungsi verifikasi dan konfirmasi ini.

Sedangkan informasi belum terverifikasi dan terkonfirmasi.

Siapa saja yang bisa menyebarkan informasi, termasuk netizen.

Merujuk pada kampanye itu, berarti tidak menyebarkan informasi tentang Covid-19 yang telah diproduksi oleh wartawan.

Tak heran bila sejumlah organisasi wartawan menganggap kampanye tersebut mencederai profesi wartawan.

Wartawan telah berusaha menyajikan informasi yang mendekati kebenaran.

Di antaranya dengan memverifikasi dan mengonfirmasikan informasi yang berseliweran di masyarakat atau media sosial.

Sebelum terbit di media, data dari wartawan telah melalui proses editing di meja redaksi.

Redaksi pun berusaha memastikan berita yangn terbit bisa mendekati kebenaran.

Bila hasil kerja keras redaksi ini mendapat penolakan dari masyarakat, maka ini menjadi bagian dari penyumbatan arus berita.

Masyarakat pun akan kehilangan hak mendapat informasi yang mendekati kebenaran.

Di sisi lain, informasi yang belum terverifikasi dan terkonfirmasi berseliweran di media sosial.

Bahkan banyak informasi hoaks yang tersebar di media sosial.

Apa berarti wartawan atau produk jurnalistik tidak bisa salah?

Sebagai produk manusia, produk jurnalistik tetap bisa salah.

Tapi, ada mekanisme atau memperbaiki kesalahan pada produk jurnalistik.

Baca juga : Berita Titipan yang Tak Pernah Tayang

Masyarakat pun memiliki hak koreksi dan hak jawab untuk memperbaiki kesalahan yang dilakukan redaksi.

Khusus untuk hak jawab, redaksi wajib di muat di media.

Sedangkan hak koreksi sebagai pertimbangan redaksi sebelum memutuskan memperbaiki berita atau tidak.

Masyarakat juga berhak menyebarkan berita atau tidak.

Saran saya, sebarkan berita yang bermanfaat bagi masyarakat, misalnya subsidi gaji, bantuan sosial, dan sebagainya.

Jadi sebelum menyebarkan berita, pertimbangkan dampaknya bagi pembaca.

Bila berita tersebut tidak bermanfaat, cukup untuk pengetahuan sendiri dan tidak perlu disebar.

Tapi bila bermanfaat, jangan segan untuk menyebarkannya.

Comments