Fenomena Berita Berlabel Hoaks

Sudah banyak berita berlabel hoaks berseliweran di media sosial.

Pemberi label bervariasi, mulai dari instansi pemerintah sampai komunitas.

Sasaran label hoaks pun beragam, mulai dari media terverifikasi di Dewan Pers maupun media yang belum terverifikasi.

Pemberian label hoaks ini terjadi karena ada ketidakpuasan dari pihak tertentu atau ketidakberimbangan dalam penulisan berita.

Artinya, ada pihak yang merasa dirugikan di dalam berita tersebut.


Biasanya pemberian label hoaks tanpa didahului konfirmasi atau komunikasi dengan perusahaan media.

Masyarakat memang berhak memberi penilaian pada produk jurnalistik.

Bila berita tersebut memang hoaks, masyarakat bisa memberi label hoaks pada berita tersebut.

Tapi sebagai catatan, berita yang sudah terpublikasi adalah produk jurnalistik yang telah melalui proses editing.

Berita dari wartawan akan diseleksi atau diedit oleh editor.

Bila berita dari wartawan ada kejanggalan, editor bisa mengedit atau minta wartawan menambah data.

Setelah dipastikan aman dan mendekati kebenaran, baru berita dipublikasikan.

Seharusnya proses editing ini menjadi pertimbangan sebelum pemberian label hoaks pada produk junalistik.

Sebelum memberi label hoaks, komunikasi dulu dengan perusahaan media.

Mungkin ada proses yang salah dalam proses editing.

Atau mungkin wartawan kurang jeli menggali informasi dari narasumber atau dari lokasi kejadian.

Sesuai UU 40/1999 tentang Pers, masyarakat harus mengawasi kinerja wartawan.

Masyarakat mengawasi kinerja wartawan melalui hak koreksi dan hak jawab.

Banyak pihak yang tidak bisa membedakan antara hak jawab dan hak koreksi.

Saya akan mengulas sedikit tentang perbedaan antara hak jawab dan hak koreksi.

Hak Jawab

UU Pers memuat kata 'hak jawab' sebanyak dua kali, yaitu di Pasal 1 dan Pasal 5.

Sedangkan dalam bagian Penjelasan, kata 'hak jawab' tercantum satu kali, yaitu di bagian Umum.

Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa:

Hak jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.


Dewan Pers juga mengeluarkan Pedoman Hak Jawab pada 29 Oktober 2008.

Dalam Pedoman Hak Jawab ini disebutkan bahwa:

Hak jawab adalah hak seseorang, sekelompok orang, organisasi atau badan hukum untuk menanggapi dan menyanggah pemberitaan atau karya jurnalistik yang melanggar Kode Etk Jurnalistik (KEJ), terutama penyebab dan ketidakakuratan fakta, yang merugikan nama baik.

Pemberi hak jawab adalah orang atau pihak yang terkait langsung dengan pemberitaan, baik narasumber atau pihak lain.

Dalam kaidah jurnalistik, ada istilah keberimbangan atau cover both side.

Setiap pihak yang tercantum di dalam berita harus ada konfirmasinya, terutama berita yang berpotensi menyudutkan orang atau pihak lain.

Misalnya, narasumber A menyebut bahwa si B melanggar aturan PPKM.

Berita ini tentu menyudutkan atau berpotensi mencemarkan nama baik si B.

Tugas wartawan setelah mewancarai narasumber A adalah mengkonfirmasi si B.

Bila berita tidak mencantumkan konfirmasi tuduhan tersebut, maka si B bisa mengajukan hak jawab.

Dalam Pasal 5 UU Pers disebutkan bahwa Pers wajib melayani hak jawab.

Jadi, perusahaan media harus memuat hak jawab dari si B.

Pemberian hak jawab ini harus tidak disertai dengan embel-embel apapun, termasuk penawaran iklan atau advetorial.

Bagaimana bila perusahaan media tidak melayani atau mengabaikan hak jawab?

Dalam Pasal 18 UU Pers menyebutkan bahwa perusahaan pers yang melanggar Pasal 5 dipidana dengan pidana denda maksimal Rp 500 juta.

Hak Koreksi

Dalam Pasal 1 angka 12 UU Pers, hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

Lingkup hak koreksi lebih luas dibandingkan hak jawab.

Semua orang bisa mengkoreksi terhadap karya jurnalistik sebagai bentuk kontrol atau pengawasan.

Tapi, perusahaan media tidak harus selalu melayani hak koreksi.

Perusahaan media melayani hak koreksi secara proporsional.

Dalam Pasal 1 angka  13 disebutkan bahwa perusahaan media wajib melakukan koreksi atau ralat terhadap informasi, data, fakta, opini, atau gambar tidak benar yang telah diberitakan oleh pers.


Pada poin ini ada penegasan pada informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar.

Bila informasi, data, fakta, opini, atau gambar tersebut sudah benar, perusahaan media tidak wajib melayani atau memenuhi koreksi atau ralat.

Pengalaman Pribadi

Saya pernah menerima pesan dari wartawan terkait penggunaan istilah dalam pemberitaan.

"Selamat sore, maaf mengganggu waktunya. Mohon izin, apakah bisa diedit judulnya. Jangan pakai maling, tapi pakai residivis atau pencuri gitu. Ini tadi ditelepon sama kasi humas, ditegur sama kapolres gara gara judul itu."

Kapolres melalui kasi humas minta agar kata maling diganti dengan residivis atau pencuri.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maling adalah (1) orang yang mengambil milik orang lain secara sembunyi-sembunyi; (2) pencuri (terutama yang mencuri pada malam hari).

Pencuri adalah (1) orang yang mencuri; (2) maling.

Sedangkan residivis adalah (1) orang yang pernah dihukum mengulangi tindak kejahatan yang serupa; (2) penjahat kambuhan.

Dari tiga istilah itu, kata 'maling' dan 'pencuri' tidak berbeda jauh secara subtansial.

Tapi, istilah 'maling' dan 'pencuri' bisa berbeda dengan istilah 'residivis'.

Perbedaannya, istilah 'maling' dan 'pencuri' sangat spesifik, yaitu orang yang mengambil milik orang lain secara sembunyi-sembunyi.

Sedangkan kata 'residivis' ditujukan kepada orang yang pernah dihukum, baik terkait kasus pencurian, kasus narkoba, kasus asusila, dan sebagainya.

Dalam konteks pesan singkat di atas, pelaku dalam berita tersebut memang pernah dihukum terkait kasus pencurian.

Tepat bila istilah 'residivis' digunakan dalam berita tersebut.

Tapi, apa alasannya kapolres dan humas minta penggunaan kata pencuri?

Saya menggunakan istilah 'maling' dengan dua pertimbangan, yaitu:

Pertama, keterbatasan karakter dalam penjudulan

Media online dibatasi oleh jumlah karakter di kolom judul.

Editor harus bisa memilih kata yang lebih hemat dalam pembuatan judul.

Bila menggunakan kata 'maling', hanya butuh enam karakter.

Sedangkan kata 'pencuri' menggunakan tujuh karakter.

Meskipun hanya terpaut satu karakter, pengunaan istilah yang lebih panjang bisa menggagalkan dalam pengunggahan di website.

Sama seperti kata 'melakukan pembunuhan' dengan 'membunuh'.

Editor pasti akan memilih kata 'membunuh' daripada 'melakukan pembunuhan'.

Sebab, kata 'membunuh' lebih hemat daripada kata 'melakukan pembunuhan'.

Kedua, memudahkan pelafalan

Kata 'maling' dan 'pencuri' sama-sama sudah sangat familiar di masyarakat.

Masyarakat tidak akan bisa membedakan antara maling atau pencuri.

Maling sama dengan pencuri. Pencuri sama dengan maling.

Dalam kondisi panik, umumnya orang akan menggunakan kata dengan sedikit pelafalan atau sedikit huruf vokal.

Kata 'maling' hanya butuh dua pelafalan, yaitu 'ma' dan 'ling'.

Sedangkan kata 'pencuri' butuh tiga pelafalan, yaitu 'pen', 'cu', dan 'ri'.

Dua alasan ini yang membuat saya memilih menggunakan kata 'maling' daripada 'pencuri'.

***

UU Pers dan Dewan Pers telah menentukan mekanisme kontrol terhadap karya jurnalistik.

Bila ada kekeliruan atau kekurang-akuratan dalam karya jurnalistik, masyarakat bisa menggunakan hak jawab atau hak koreksi.

Hak koreksi dan hak jawab ini sebagai media komunikasi antara perusahaan media dengan masyarakat.

Ini berbeda bila hak jawab dan hak koreksi itu tidak disampaikan langsung ke perusahaan, tapi langsung disebar di media sosial.

Pembaca media massa belum tentu mengikuti akun media sosial yang memberi label hoaks pada karya jurnalistik.

Karena tidak mengikuti akun media sosialnya, pembaca tidak mengetahui bila ada kekeliruan atau kekurang-akuran dalam berita.

Ini berbeda bila hak jawab atau hak koreksi langsung disampaikan ke perusahaan media.

Pembaca akan mengetahui bila ada koreksi atau ralat dari berita sebelumnya.

Khusus media siber, Dewan Pers telah mengeluarkan Pedoman Media Siber pada 3 Februari 2012.

Pada poin Ralat, Koreksi, dan Hak Jawab disebutkan bahwa:

(a) ralat, koreksi, dan atau hak jawab wajib ditautkan pada berita yang diralat, dikoreksi, atau yang diberi hak jawab.

(b) di setiap berita ralat, koreksi, dan hak jawab wajib dicantumkan waktu pemuatan ralat, koresi, dan atau hak jawab tersebut.

Berarti, sudah ada mekanisme untuk meralat atau mengoreksi berita di media massa.

Memberi label hoaks bukan menjadi solusi untuk meluruskan atau mengoreksi berita.

Komunikasi dengan perusahaan media bisa menjadi solusi untuk meluruskan atau mengoreksi berita.

Bila komunikasi tidak menemukan solusi, bisa mengadu atau melapor ke Dewan Pers. 

Comments