Ketika Depresi Menyerang

“Aku sering merasa hampa. Aku divonis oleh psikiater sedang menderita depresi berat.”

Pesan singkat melalui BlackBerry Messenger (BBM) aku terima dari teman akrab semalam.

Dia mengeluhkan kondisinya sekarang.

Setelah putus dari pacarnya sekitar tiga tahun lalu, dia berusaha mencari pengganti.

Tapi, usahanya belum membuahkan hasil.


Beberapa hari lalu dia menulis di akun FB-nya:

"Oh ternyata ada sembilan wanita yang mencabik-cabik hatiku."

Dia adalah teman akrabku selama tiga tahun di Bali.

Dia banyak bercerita segala sesuatu tentang kehidupannya.

Pacar, kondisi keluarga, situasi kantor, dan sebagainya.

Semalam dia mengaku sudah berbeda jauh dari tiga tahun lalu.

Sikapnya lebih tertutup.

Dia pun menghapus pertemanan di FB dengan rekan sekantor.

Penyakit, kondisi keluarga, tekanan psikologis, dan keadaan lain bisa memicu depresi.

Penderita terlihat dari perubahan gaya hidupnya.

Menyendiri, lebih tertutup, dan sering melihat dengan tatapan kosong.

Bila depresi tidak segera diantisipasi, penderitanya mudah mengambil jalan pintas.

Bunuh diri yang paling sering terjadi.

Orang dewasa paling sering mengalami depresi.

Tekanan pekerjaan, kondisi rumah tangga, atau kondisi jalanan bisa meningkatkan depresi.

Tapi depresi tidak hanya dialami orang dewasa.

Anak-anak dan remaja pun bisa mengalami depresi.

Bahkan depresi yang dialami anak-anak atau remaja sering dipicu hal-hal sepele.

Tidak bisa membayar SPP, atau bully di sekolah bisa bisa memicu depresi pada anak-anak atau remaja.

Mengobati depresi melalui psikiater memang penting.

Tapi yang lebih penting adalah dukungan dari orang sekitar.

Masalahnya tidak semua orang peduli dengan kondisi yang kita alami.

Kadang orang lain apatis dengan perasaan yang sedang kita rasakan.

Mereka menganggap laki-laki harus tegar dan kuat menghadapi berbagai cobaan hidup.

Padahal laki-laki juga manusia.

Laki-laki memiliki jiwa feminis sehingga butuh bantuan orang lain.

Laki-laki juga butuh merasakan kasih sayang, belaian, dan perhatian dari orang sekitar.

Sisi feminis pada laki-laki yang kurang mendapat perhatian.

Sebagaimana yang dirasakan temanku, sisi feminisnya seakan tak tersalurkan.

Aku memahami tidak semua orang mau mendengar atau mau tahu dengan kondisiku.

Makanya aku tidak berharap orang lain peduli dengan apapun yang terjadi padaku.

Tapi aku yakin semua permasalahan pasti bisa diurai dan ada solusinya.

Tapi, bersikap tertutup tidak bisa mengatasi masalah.

Justru sikap tertutup semakin menambah depresi semakin akut.

Psikiater pun pasti akan mengorek inti permasalah yang dihadapi penderita depresi bila akan melakukan terapi.

Coba bayangkan bila penderita depresi tetap bersikap tertutup di hadapan psikiater.

Tentu psikiater akan kebingungan menentukan tingkat depresi dan obatnya.

Setelah mengetahui tingkat depresi, psikiater pun tidak bisa menghilangkan depresi.


Psikiater mungkin hanya memberi obat penenang atau kiat-kiat tertentu.

Psikiater pun akan menyerahkan ke penderita agar cepat sembuh.

Inti sembuh dari depresi adalah diri sendiri.

Psikiater hanya media menuju sembuh.

Sekalipun beberapa kali datang ke psikiater, bila penderitanya tidak ada gairah sembuh, dipastikan akan tetap depresi.

Menghadapi masalah yang menerpa, aku pun sering mengalami depresi.

Aku tidak pernah datang ke psikiater.

Aku pun jarang mencurahkan permasalahan yang aku hadapi ke orang lain.

Selama ini aku hanya mencari pelampiasan untuk mengurangi depresi.

Membaca buku, bermain gitar, menyendiri, mengeluarkan isi hati dalam tulisan, atau kegiatan lain.

Mencari pelampiasan bukan satu-satunya menghilangkan depresi.

Minimal pelampiasan ini bisa mengurangi beban yang di pikiran.

Comments