Tarif Mengundang Wartawan Jadi Pemateri Atau Narasumber

Berapa tarif mengundang wartawan untuk menjadi pemateri atau narasumber?

Pertanyaan itu sering muncul ketika akan mengundang wartawan atau redaksi menjadi pemateri atau narasumber.

Perlu diketahui, mengundang wartawan sebagai narasumber atau pemateri tidak terkait dengan kerja jurnalistik.

Artinya, wartawan tidak mencari data, mengolah data, dan mempublikasikan kegiatan atau materi kegiatan tersebut dalam media massa.


Wartawan hanya menyampaikan materi atau berbagi pengalaman kepada peserta kegiatan.

Bagaimana bila wartawan menjadi pematari atau narasumber dalam kegiatan sekaligus menulis berita tersebut?

Menurut saya, langkah tersebut tidak tepat dan tidak etis.

Seharusnya wartawan membedakan posisi sebagai narasumber atau pemateri dengan kerja jurnalistik.

Saat menjalankan kerja jurnalistik, wartawan dilarang menerima imbalan dari pengundang, baik berupa uang atau barang dengan harga tertentu.

Tapi, saat menjadi pemateri atau narasumber acara, wartawan boleh menerima imbalan.

Saya pernah mengisi materi di fakultas Universitas Brawijaya (UB), Kota Malang.

Panitia sudah menghubungi saya jauh-jauh hari sebelum kegiatan.

Komunikasi ini untuk memberi penjelasan terkait teknis kegiatan, mulai dari latar belakang peserta pelatihan,  sampai format pelatihan.


Tiba-tiba panitia menanyakan honor saya sebagai pemateri.

"Mas, mohon maaf, kira-kira berapa honor sampean untuk mejadi pemateri dalam pelatihan itu?" kata panitia saat itu.

Terus terang, saya bingung menjawab pertanyaan itu.

Sebenarnya saya tahu kisaran honor yang diterima wartawan saat menjadi pemateri atau narasumber di Kota Malang.

Tapi, saya merasa tidak elok bila mengungkap besaran honor tersebut.

Sejak awal saya selalu berpatokan pada dua hal setiap akan atau sedang mengisi materi dalam pelatihan.

Pertama, refresh kerja jurnalistik

Kedua, berbagi pengalaman 

Kerja Jurnalistik

Sudah banyak buku yang berisi terori kerja jurnalistik.

Mahasiswa atau dosen ilmu komunikasi pasti sudah paham tentang kerja atau teori jusnalistik.

Sebenarnya, peserta pelatihan bisa belajar teori jurnalistik di luar forum pelatihan.

Mereka bisa membacara teori jusnalistik di buku, majalah, video, dan sebagainya.

Saya selalu mengawali materi dengan minta peserta untuk bercerita tentang teori jurnalistik atau kerja jurnalistik yang diketahuinya.

Apalagi saat ini mayoritas warga sudah mempraktikkan kerja jurnalistik, minimal di media sosial masing-masing.

Misalnya ketika ada kejadian di sekitarnya, seperti kecelakaan, angin kencang, banjir, dan sebagainya.

Warga pasti akan memfoto atau memvideo kejadian itu, dan mengunggah di media sosial.

Secara tidak langsung, kegiatan tersebut bagian bagian dari kerja jurnalistik, yaitu mencari data, mengolah data, dan mempublikasikan ke media (sosial).

Selama materi berlangsung, saya hanya me-refresh teori atau kerja jurnalistik.

Bagi saya, warga sudah mempraktikkan kerja jurnalistik, tapi tidak memahami teori jurnalistik.

Makanya pelatihan atau seminar tersebut sebagai media untuk me-refresh teori atau kerja jurnalistik.

Berbagi Pengalaman

Buku atau video tentang pengalaman jurnalistik sama banyaknya dengan buku teori jurnalistik.

Setiap wartawan pasti memiliki pengalaman berbeda dan pengalaman menarik ketika menjalankan kerja jurnalistik.

Begitu pula saya.

Selain pengalaman saya sendiri, saya juga pernah mendengar atau pengetahui pengalaman wartawan lain.

Pengalaman-pengalaman itu yang mempengaruhi cara kerja jurnalistik saya sekarang.


Sebelum mengunggah berita, saya pasti mempertimbangkan pengalaman yang saya alami atau pengalaman wartawan lain.

Pertimbangan ini untuk mengurangi dampak negatif dari berita yang terungah di media massa.

Saya selalu membagikan pengalaman kepada peserta pelatihan, baik pengalaman saya maupun pengalaman wartawan lain.

Umumnya, peserta lebih mudah mencerna materi dalam bentuk cerita daripada materi dalam bentuk teori.

Ada pepatah, pengalaman adalah guru terbaik dan harta paling terharga.

Makanya saya selalu bingung ketika mendapat pertanyaan besaran tarif wartawan untuk menjadi narasumber atau pemateri.

Kalau patokannya teori, mungkin bisa disesuaikan dengan banyaknya buku yang dibaca wartawan.

Tapi kalau patokannya pengalaman, maka tidak ada harga yang pantas untuk menentukan tarif wartawan sebagai narasumber atau pemateri.

Saya lebih senang panitia yang tidak pernah menanyakan besaran tarif.

Ketika ada panitia yang bertanya besaran tarif, saya pun menjawab seenaknya.

Tentunya jawaban ini saya sertai dengan emot tersenyum atau tertawa.

Bahkan saya pernah hanya mendapat honor segelas kopi dan ucapan 'terima kasih' setelah menjadi pemateri.

Saya pun tidak mempermasalahkan honor tersebut.

Setiap kali menerima undangan untuk menjadi pemateri atau narasumber, saya tidak pernah memikirkan besaran honor.

"Yang penting kita belajar bersama dulu," kata saya kepada panitia saat itu.

Comments