Pedoman Penulisan Kejadian Bunuh Diri Sesuai Kaidah Jurnalistik

Pertanyaan:

Mas, boleh sharing. Kejadian bunuh diri ibu muda layak ditulis atau tidak ya? Karena khawatir jadi contoh yang lain.

Jawab:

Bunuh diri merupakan kematian tak bisa yang jarang terjadi.

Dilansir dari wikipedia, bunuh diri adalah tindakan sengaja yang menyebabkan kematian diri sendiri.

Peristiwa bunuh diri memiliki minimal dua nilai berita, yaitu aktualitas dan keanehan.

Aktualitas berarti perestiwa tersebut baru saja terjadi.

Sedangkan keanehan berarti peristiwa bunuh diri merupakan kejadian tidak biasa yang terjadi di masyarakat.

Nilai berita dapat bertambah tergantung dari kedalaman berita yang digali wartawan di lapangan.

Misalnya, proximity atau kedekatan bila peristiwa bunuh diri memliki kedekatan emosional atau terjadi di sekitar lokasi pembaca.

Atau impact (dampak) bila peristiwa bunuh diri memiliki dampak besar bagi pembaca; dan sebagainya.

Tidak mengherankan media massa selalu mewartawakan berita bunuh diri.

Apalagi bagi media lokal, setiap peristiwa bunuh diri pasti akan diwartakan karena memiliki kedekatan lokasi dengan pembaca.

Tapi, wartawan harus mempertimbangkan beberapa hal sebelum mewartakan peristiwa bunuh diri.

Dewan Pers telah mengeluarkan Peraturan nomor: 2/PERATURAN-DP/III/2019 Tentang Pedoman Pemberitaan terkait Tindak dan Upaya Bunuh Diri.

Dalam peraturan ini ada beberapa hal yang tidak boleh dan harus dilakukan wartawan/editor sebelum mempublikasikan peristiwa bunuh diri.

1. Wartawan mempertimbangkan secara seksama manfaat sebuah pemberitaan bunuh diri.

Kalau pun berita dibuat, harus diarahkan kepada concern atas permasalahan yang dihadapi orang yang bunuh diri yang sekaligus adalah korban, bukan justru mengeksploitasi kasus tersebut sebagai berita yang sensasional.

2. Pemberitaan bunuh diri sebaiknya diletakkan atau diposisikan sebagai isu kesehatan jiwa dan bukan isu kriminalitas karena kasus bunuh diri bukan disebabkan oleh faktor tunggal.

3. Wartawan menyadari bahwa pemberitaan kasus bunuh diri dapat menimbulkan perasaan traumatik kepada keluarga pelaku, teman, dan orang-orang yang mengenal pelaku.

4. Wartawan menghindari pemberitaan yang bermuatan stigma kepada orang yang bunuh diri ataupun orang yang mencoba melakukan bunuh diri.

5. Wartawan menghindari penyebutan identitas pelaku (juga lokasi) bunuh diri secara gamblang untuk menghindari aib atau rasa malu yang akan diderita pihak keluarganya.

Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri sesorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.

6. Wartawan menghindari penyebutan lokasi tertentu seperti jembatan, tebing, gedung tinggi yang pernah dijadikan lokasi bunuh diri untuk menghindari aksi pengulangan.

7. Dalam melakukan wawancara terkait aksi bunuh diri, wartawan harus  mempertimbangkan pengalaman traumatis keluarga atau orang terdekat.

8. Dalam mempublikasikan atau menyiarkan berita yang menayangkan gambar, foto, suara atau video tentang kasus bunuh diri, wartawan perlu mempertimbangkan dampak imitasi atau peniruan (copycat suicide) dimana orang lain mendapat inspirasi dan melakukan aksi peniruan, terutama terkait tindakan bunuh diri yang dilakukan pesohor, artis, atau tokoh idola.

9. Wartawan menghindari ekspos gambar, foto, suara atau video korban bunuh diri maupun aksi bunuh diri yang dapat menimbulkan perasaan traumatik bagi masyarakat yang melihat atau menontonnya.

10. Wartawan pers penyiaran menghindari siaran langsung terhadap orang yang sedang berniat melakukan aksi bunuh diri.

11. Wartawan menghindari penyiaran secara detil modus dari aksi bunuh diri, mulai dari cara, peralatan, jenis obat atau bahan kimia, maupun teknik yang digunakan pelaku.

Termasuk tidak mengutip secara detil informasi yang berasal dari dokter maupun penyidik kepolisian ataupun membuat sketsa dan bagan terkait hal tersebut.

12. Wartawan menghindari pengambilan bahan dari media sosial, baik foto, tulisan, suara maupun video, dari korban bunuh diri untuk membuat berita bunuh diri.

13. Wartawan menghindari berita ulangan terkait riwayat seseorang yang pernah melakukan upaya bunuh diri.

14. Wartawan menghindari pemberitaan yang menggambarkan perilaku bunuh diri sebagai respons 'alami' atau 'yang dapat dipahami' terhadap masalah, misalnya, kegagalan mencapai tujuan penting, kesulitan hubungan atau krisis keuangan.

Wartawan tidak menguraikan perilaku bunuh diri sebagai tindakan tragis sekaligus heroik oleh seseorang yang memiliki segala sesuatu dalam hidup, seperti karier, posisi, kekayaan.

15. Pers menghindari eksploitasi pemberitaan kasus bunuh diri antara lain dengan cara mengulang-ulang pemberitaan kasus bunuh diri yang terjadi atau yang pernah terjadi.

16. Wartawan menggunakan secara hati-hati diksi serta istilah, dan menghindari penggambaran yang hiperbolik.

Data statistik, harus diperlakukan hati-hati, dengan sumber yang jelas.

17. Pers menghindari pemuatan atau penayangan berita mengenai bunuh diri pada halaman depan, kecuali penulisan mendalam mengenai situasi kesehatan masyarakat dan bunuh diri hanya ditulis sebagai salah satu misal.

18. Wartawan diperbolehkan menulis atau menyiarkan berita lebih detil dengan fokus untuk pengungkapan kejahatan di balik kematian yang semula diduga sebagai kasus bunuh diri, karena berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas.

19. Dalam hal pers atau wartawan memutuskan untuk memberitakan kasus bunuh diri, maka berita yang ada harus diikuti dengan panduan untuk mencegah pembaca, pendengar, atau pemirsa melakukan hal serupa seperti refrensi kepada kelompok, alamat, dan nomer kontak lembaga dimana orang-orang yang mengalami keputusasaan dan berniat bunuh diri bisa memperoleh bantuan.

Wartawan harus meminta pendapat para pakar yang relevan dan memiliki empati untuk pencegahan bunuh diri.

20. Pemberitaan tentang bunuh diri tidak boleh dikaitkan dengan hal-hal gaib, takhyul atau mistis.

Sumber bacaan:

- https://id.m.wikipedia.org/wiki/Bunuh_diri.

https://dewanpers.or.id/berita/detail/1141/PERATURAN-DEWAN-PERS-TENTANG-PEDOMAN-PEMBERITMN-TERKAIT-TINDAK-DAN-UPAYA-BUNUH-DIRI.

Comments