Tingkah Pola Aneh Wartawan
Akhir-akhir ini aku sering mendengar tingkah pola terkait wartawan.
Seandainya
tingkah pola ini tidak menyangkut profesi, aku berani menyebutnya oknum.
Tapi sebagaian
tingkah pola yang kudengar akhir-akhir dilakukan oleh wartawan sebenarnya.
Hanya
ada satu kasus yang kewartawanannya diragukan.
Aku meragukan pelaku satu kasus
ini sebagai wartawan karena aku belum pernah melihat orang itu melakukan kerja
jurnalistik.
Kasus pertama terkait berita heboh di Kota Malang sejak beberapa hari lalu.
Seluruh pejabat eselon II studi banding dan pelatihan.
Yang menghebohkan, studi
banding yang menggunakan dana APBD ini juga menyertakan beberapa istri pejabat.
Aku tidak tahu hanya sebagaian pejabat yang mengajak istrinya atau tidak.
Berita ini memang tidak janggal.
Tapi akan terasa janggal bila ditelusuri
studi banding sebelumnya yang melibatkan wartawan.
Aku lupa jumlah wartawan
yang diajak dalam studi banding ke Bandung tersebut.
Seingatku, setiap wartawan
mendapat uang saku sebesar Rp 10 juta.
Uang saku ini tidak termasuk akomodasi
dan transportasi.
Beberapa wartawan dikabarkan masih minta tambahan uang saku
kepada pejabat yang dikenalnya.
Inti dari dua studi banding tidak berbeda jauh.
Pejabat dan wartawan
sama-sama meghamburkan uang APBD melalui kegiatan yang dikemas dalam studi
banding.
Apalagi setelah perjalanan dinas itu, tidak ada pertanggungjawaban
kepada publik.
Wartawan pun tidak menulis hasil studi bandingnya di media massa
masing-masing.
Tapi wartawan menyikapi berbeda dua studi banding ini.
Studi banding pejabat
yang mengajak istrinya menjadi headline selama
beberapa hari di media massa.
Bahkan detail acara dan dugaan penghamburan uang
APBD pun diungkap.
Pengambil kebijakan, pengamat, atau kritikus diminta pendapatnya.
Tapi studi banding yang melibatkan wartawan seakan tidak ada kabarnya.
Hanya
wartawan tertentu yang mendapat tawaran.
Pemberangkatannya pun terkesan diam-diam.
Tidak ada satu pun media massa yang menulisnya.
Bahkan hasil studi banding tidak
ada yang menulisnya.
Padahal seharusnya studi banding ini sangat berguna bagi warga
yang membayar pajak.
Kasus lain yang melibatkan wartawan terjadi tadi siang.
Sekitar 25 wartawan
datang ke salah satu kantor kepolisian di Malang Raya untuk meliput rilis tersangka
pemakai ganja.
Sebelum rilis dimulai, seluruh wartawan mendapat bahan rilis.
Dalam
rilis itu dicantumkan bahwa pemakai ganja tersebut bekerja sebagai wartawan
tabloid.
Menjelang rilis, beberapa petinggi polisi terlihat kelimpungan.
"Rilisnya barang bukti (BB) saja. Tanpa tersangka," kata seorang juru bicara polisi.
Statemen ini tentu terasa janggal.
Tidak biasanya
polisi hanya merilis kasus tanpa tersangka.
Biasanya rilis kasus hanya BB bila
tersangkanya kabur, dilimpahkan ke satuan atau daerah lain, atau tersangkanya sulit
dihadirkan.
Ternyata kejanggalan jelang rilis tersebut disebabkan atasan tersangka datang
ke markas polisi.
Aku tidak tahu apa alasan atasan tersangka datang ke markas
polisi.
Wartawan menduga kedatangan atasan tersangka tersebut yang mengubah kebijakan
polisi menggelar rilis.
Setelah terjadi perdebatan, rilis digelar dengan tersangka.
"Pekerjaan tersangka adalah swasta. Saya tidak mengatakan tersangka
bekerja sebagai wartawan," kata juru bicara itu.
Profesi wartawan memang identik dengan kekuasaan.
Ada pepatah ‘Genggamlah
media massa, maka kamu akan mengenggam dunia’.
Pepatah ini ada benarnya.
Media massa
merupakan alat propaganda efektif untuk mempengaruhi opini publik.
Makanya seharusnya
media massa berpihak kepada fakta dan kebenaran.
Tapi melihat tingkah pola wartawan di atas, keberpihakan media massa kepada
fakta dan kebenaran patut dipertanyakan.
Wartawan atau media massa telah
menjadi hamba golongan atau kelompok tertentu.
Media massa hanya mempublikasikan
fakta yang tidak menguntungkan dirinya.
Sedangkan fakta yang menguntungkan
disimpan dan hanya menjadi konsumsi internal.
Masih banyak tingkah pola wartawan yang merusak idealisme.
Seandainya kutuliskan
dalam coretan kali ini, entah berapa lembar untuk menguraikannya.
Mungkin aku
tidak akan bisa tidur bila ingin menuntaskan tingkah pola aneh wartawan.
Sebagaimana profesi lainnya, wartawan juga memiliki kode etik.
Sayangnya
kode etik ini hanya menjadi pajangan di kertas.
Bukannya aku sok suci.
Bila
wartawan tidak mau memperbaiki diri, wartawan akan dipandang sinis oleh
masyarakat atau kelompok masyarakat.
Padahal mereka inilah yang membantu wartawan
mengungkap fakta dan kebenaran.
Bisa dibayangkan bila wartawan hanya mengandalkan
kemampuannya mengungkap fakta dan kebenaran ini.
Wartawan harus turun langsung
ke medan perang, harus melihat langsung sebuah kejadian (termasuk bom bunuh
diri), dan sebagainya.
Pasti korban jiwa akan lebih banyak dibandingkan wartawan
yang tewas sekarang.
Comments
Post a Comment