Wartawan Jangan Egois: Jadilah Penerjemah yang Baik

Wartawan yang baik adalah wartawan yang bisa menjadi penerjemah antara narasumber dengan pembaca atau pemirsa.

Hari ini aku membaca berita kiriman wartawan yang mencantumkan kata 'appraisal'.

Bagi kalangan tertentu, istilah tersebut memang tidak asing.

Bisa jadi kata tersebut terdengar atau terucap beberapa kali.

Tapi, tidak semua orang memahami arti atau maksus dari kata appraisal.

Bahkan wartawan pun belum tentu mengerti atau tahu arti kata appraisal.

Sebelumnya, wartawan itu mengirim berita yang mencantumkan kata existing.

Lebih lengkapnya, wartawan itu menulis: 'nanti akan kami buat DED yang lebih detail terus disesuaikan dengan existingnya'.

Istilah existing kurang familiar bagi mayoritas orang.

Sesuai terjemahan kamus online, existing berarti 'ada'.

Sesuai penerjemahan simpel ini, kalimat kutipan tersebut masih belum bisa dipahami.

'Nanti akan kami buat DED yang lebih detail terus disesuaikan dengan adanya/keadaannya'.

Saat mengedit berita itu, aku mengirim pesan singkat kepada wartawan: 'existing kalau menggunakan Bahasa Indonesia atau Bahasa Jawa itu apa?'.

Si wartawan butuh waktu sekitar delapan menit untuk menjawab pertanyaan itu.

'Nah, saya tadi juga berpikir. Kira-kira apa ya?'.

Aku berkesimpulan bahwa wartawan itu juga tidak memahami arti dari kata existing.

Dalam penulisan berita, wartawan harus mempertanggungjawabkan setiap huruf yang tercantum di dalam berita.

Wartawan harus sadar bahwa beritanya akan dibaca atau ditonton oleh orang lain.

Wartawan harus memikirkan kata yang tercantum dalam kerangka berita tersebut akan dipahami orang lain atau tidak.

Bila narasumber mengucap kata yang kurang familiar di kalangan publik, wartawan tetap tidak boleh langsung mengutip kalimatnya.

Wartawan harus mencari padanan kata yang sesuai dengan istilah tersebut.

Bila tidak ada padanan kata yang sesuai, wartawan harus menyertakan arti dari kata atau istilah tersebut.

Atau lebih gampangnya, wartawan bertanya langsung kepada narasumber tentang arti dari istilah tersebut.

Wartawan tidak boleh egois dalam penulisan berita.

Wartawan tidak bisa berkesimpulan bahwa semua pembaca akan memahami setiap kata yang tercantum di dalam berita.

Pembaca berita berasal dari berbagai kalangan dengan latar belakang yang beragam.

Ada profesor, tukang sayur, pengusaha, tukang becak, dan sebagainya.

Bila wartawan mencantumkan bahasa teknis tanpa disertai penjelasan, hanya kalangan tertentu yang memahami maksud dan isi berita.

Misalnya kata existing dan appraisal. Mungkin hanya orang berlatar belakang teknik sipil yang memahami istilah itu.

Sedangkan orang dari kelas menengan menengah ke bawah harus membuka kamus atau searching di Google untuk menemukan definis dari istilah tersebut.

Di antara ciri bahasa jurnalistik adalah:

- Populis, yaitu menggunakan diksi atau kata, istilah, atau kalimat yang akrab di semua kalangan.

- Tidak menggunakan kata atau istilah asing.

Bila terpaksa menggunakan kata atau istilah asing, sertakan juga penjelasan atau definisi dari kata atau istilah asing tersebut.

- Hindari penggunaan kata atau istilah teknis.

Bila tetap menggunakan kata atau istilah teknis, sertakan juga penjelasan atau definisi dari kata atau istilah asing tersebut.

Wartawan boleh dan memang harus bergaul dengan siapa saja dan dari kalangan mana saja.

Tapi ketika berkarya, wartawan harus berpikir sebagaimana pembaca.

Pembaca adalah raja.

Bila wartawan membuat kaya yang bisa dinikmati pembaca tanpa mengernyitkan kening, pembaca akan ketagihan menikmati karya dari media massa tersebut.

Sebaliknya, bila pembaca harus mengerutkan alis saat membaca berita, media massa tersebut tidak akan bertahan lama.

Pembaca akan meninggalkan media massa tersebut.

Comments