Ramadan, Momen Berita 'Sampah' Berseliweran

Ramadan termasuk momen tersibuk bagi wartawan maupun editor.

Wartawan akan sibuk mengikuti acara pejabat, perusahaan, maupun tokoh publik.

Tujuannya hanya satu, yaitu menulis berita terkait pencitraan pejabat, perusahaan, maupun tokoh publik.

Pejabat, perusahaan, dan tokoh publik memang biasa memanfaatkan Ramadan untuk membangun atau menaikkan citra.

Beragam kegiatan pun digelar demi mengesankan sosok humanis, peduli sesama, dermawan, dan sebagainya.

Ada acara buka bersama, bagi takjil, memberi bantuan, dan sebagainya.

Ada pula yang mempromosokan beragam paket murah dan menarik agar pengunjung rela menikmati produk.

Tapi, tidak semua wartawan mau mendatangi acara seremonial yang hanya untuk membangun citra.

Hanya wartawan tertentu yang mendatangi acara seremonial tersebut.

Pejabat, perusahaan, atau tokoh publik pun tidak kehabisan akal.

Mereka membuat rilis dan dikirim ke wartawan dengan harapan berita tersebut bisa sampai ke meja redaksi.

Bila masih tidak yakin wartawan akan mengirim rilis tersebut ke meja redaksi, pejabat, perusahaan, atau tokoh publik itu mengirim langsung rilis ke editor.

Banyaknya rilis yang masuk ini bisa membikin pusing editor.

Editor harus mengubah rilis tersebut agar memiliki nilai berita (news values).

Bila wartawan bersedia mengubah rilis tersebu, tugas editor akan sedikit ringan.

Tapi, tidak banyak wartawan yang ma mengubah rilis agar memiliki nilai berita.

Banyak wartawan yang hanya mengubah judul dan memasang inisialnya di dalam rilis tersebut, kemudian mengirim ke meja redaksi.

Bila tidak jeli, editor akan menganggap kiriman tersebut merupakan karya wartawan.

Bila bersedia meluangkan waktu untuk melacak atau tracking di Google, editor bisa memastikan kiriman tersebut benar-benar karya wartawan atau humas.

Dalam konteks ini, editor bisa mengambil dua sikap, yaitu:

1. Membiarkan berita sampah membanjiri website

Umumnya pejabat, perusahaan, atau tokoh publik memiliki kedekatan dengan perusahaan media, baik sebagai pengiklan maupun kenal dengan petinggi perusahaan media.

Perusahaan media sangat berkepentingan membangun jaringan dari berbagai kalangan, terutama pejabat, perusahaan, atau tokoh publik.

Di sisi lain, berita dari rilis atau seremonial memiliki sedikit nilai berita.

Diubah atau tidak diubah, saya yakin berita dari rilis tersebut sangat sedikit pembaca yang mau membacanya.

Makanya daripada susah-susah mengubah rilis agar menarik perhatian pembaca, lebih baik rilis tersebut langsung diunggah di website.

Editor pun akan kesulitan mengubah rilis agar memiliki nilai berita.

Bagaimanapun data di dalam rilis karya humas tidak sekaya berita karya wartawan.

Ibaratnya, data adalah bahan yang disiapkan untuk membuat masakan.

Bila bahannya sangat minimalis, jangan berharap bisa membuat masakan enak.

Konsekwensinya, masakan tersebut kurang menggugah selera.

2. Tidak menayangkan berita tersebut di website

Editor memang memiliki hak tidak menayangkan berita yang dianggap tidak memiliki nilai berita atau berita yang berpotensi bermasalah.

Berita rilis dari pejabat, perusahaan, dan tokoh publik memang tidak berpotensi bermasalah.

Tapi, berita rilis tidak memiliki banyak nilai berita.

Bagi saya, berita rilis hanya untuk menyenangkan narasumber, bukan menyenangkan atau sesuai kebutuhan pembaca.

Sebelum memutuskan menayangkan atau tidak menayangkan berita rilis tersebut, editor harus mempertimbangkan kepentingan tersebut.

Bila mempertimbangkan demi kepentingan pembaca atau kepentingan publik, editor tidak perlu menayangkan berita rilis.

Bila pertimbangannya adalah untuk menyenangkan narasumber, silahan berita sampah tersebut diunggah di website.

Sebelum memastikan tidak mengunggah berita rilis, editor harus komunikasi dengan wartawan.

Minimal wartawan tahu kekurangannya, dan diharap wartawan tidak mengulang kekurangan tersebut.

Comments