Wartawan di Negara Pencitraan

Akhir-akhir ini media massa hanya berisi berita-berita pencitraan, baik pencitraan lembaga maupun pecitraan personal.

Pejabat maupun tokoh publik mulai sadar peran media massa dalam pembangunan citra.

Pejabat atau tokoh publik memang bisa membangun citra sendiri dengan memanfaatkan sumber dayanya, seperti memanfaatkan relasi atau media sosial.

Tapi, pencitraan melalui relasi dan media sosial seakan belum lengkap tanpa peran dari media massa.

Makanya pejabat maupun tokoh publik berlomba-lomba mendekati perusahaan media atau wartawan untuk mendongkrak citranya.

Era digital memudahkan pejabat dan tokoh untuk mendistribusikan bahan atau informasi yang mendukung pencitraan pribadi maupun lembaga.

Dengan memanfaatkan aplikasi, pejabat dan tokoh publik bisa mengirim data, foto, atau video kegiatan ke perusahaan media atau wartawan.

Bagi perusahaan media, data kegiatan tersebut bisa berguna untuk media kerja sama jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang.

Meskipun sekarang belum ada kerja sama, bisa nanti pejabat atau tokoh publik itu menjalin kerja sama setelah berita kegiatan tersebut termuat di media massa.

Bila sudah ada kerja sama, penayangan berita tersebut dianggap sebagai service atau layanan gratis untuk pejabat atau tokoh publik.

Bagi wartawan, data kegiatan itu bisa untuk menggugurkan kewajiban mencari berita.

Wartawan cukup sedikit mengedit data kegiatan itu, kemudian dikirim ke perusahaan dengan inisial atau nama wartawan.

Ada pula wartawan yang langsung megirim data kegiatan itu tanpa proses editing.

Jadi, wartawan hanya mencantumkan inisial atau nama di dalam berita tersebut.

Dengan mencantumkan inisial atau nama di dalam berita, otomatis berita tersebut dianggap sebagai karya watawan, dan buka karya plagiasi.

Era digital telah meruntuhkan etos kerja wartawan.

Wartawan tidak perlu lagi datang ke lokasi dan tidak perlu menggali data.

Wartawan cukup duduk manis di warung kopi, semua data sudah tersedia di ponsel, baik melalui jaringan pribadi (japri) atau grup WhatsApp (WA) wartawan.

Memang tidak salah wartawan mendapat data lengkap dari narasumber atau pihak lain.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), wartawan atau jurnalis adalah orang yang pekeraannya mencari dan menyusun berita untuk dimuat di surat kabar.

Tapi perlu menjadi catatan, bahwa kerja wartawan tidak hanya menggali data dari lapangan atau narasumber.

Wartawan juga wajib mengolah data yang telah terhimpun dari lapangan dan narasumber.

Jadi, wartawan tidak serta merta menulis semua data yang dihimpun dari narasumber dan lapangan.

Wartawan berhak membuang, menambah, dan memproses data tersebut tanpa menghilankan esensinya.

Data yang tidak perlu, bisa diabaikan atau tidak ditulis di dalam berita.

Wartawan juga bisa dan harus menggali data lain dari sumber lain, misalnya dari narasumber lain, dokumentasi, dan sebagainya.

Hasil pengolahan data inilah yang layak disetor ke meja redaksi, dan kemudian ditayangkan di media massa.

Data tanpa pengolahan sesuai kaidah jurnalistik tak ubahnya seperti informasi versi humas atau juru bicara.

Berita tersebut hanya berisi pencitraan lembaga, pejabat, atau tokoh publik.

Wartawan yang mengirim berita tersebut seakan berperan seperti humas atau juru bicara.

Perbedaannya, wartawan memiliki perusahaan yang memiliki sumber daya lebih untuk menjangkau pembaca lebih banyak.

Comments