Panggung Sandiwara Bernama Karnaval

Agustus 2014. Indonesia berubah menjadi panggung sandiwara.

Benar-benar menjadi panggung sandiwara.

Warga melepas identitas dan jati dirinya.

Mereka mengubah dirinya menjadi orang lain.

Perubahan identitas ini bisa disaksikan di seluruh daerah, mulai pedesaan sampai perkotaan.

Mayoritas perubahan identitas dilombakan.

Warga yang bisa mengubah dirinya secara maksimal berhak mendapat hadiah.

Perubahan identitas ini disebut karnaval.

Karnaval ini tidak dimeriahkan warga yang berniat mengubah dirinya.

Bahkan warga yang tidak berubah pun tidak mau melepaskan momen ini.

Mereka berduyun-duyun datang ke lokasi.

Mereka ingin menyaksikan perubahan apa saja yang ada di karnaval tersebut.

Karnaval tidak hanya bisa dilihat pada Agustus atau untuk memperingati kemerdekaan Indonesia.

Hari besar keagamaan pun bisa ditemui karnaval, seperti Maulid, Muharam, dan sebagainya.

Tema karnaval disesuaikan momen perayaan.

Karnaval Agustusan akan menonjolkan keberagaman Indonesia.

Karnaval hari besar agama akan menonjolkan kultur agama, dan sebagainya.

Tapi inti dari karnaval tidak berbeda.

Karnaval sama-sama memperlihatkan bukan identitas masyarakat sebenarnya.

Orang yang jarang shalat bisa menjadi kiai saat karnaval.

Seorang pengusaha (meskipun jarang) akan berubah menjadi petani.

Biasanya warga memang tidak menjadi diri sendiri ketika karnaval.

Jadi inti dari karnaval adalah ekspresi imaji warga.

Atau bisa jadi karnaval menjadi momentum untuk mengekspresikan keinginan dan harapan.

Dalam karnaval sering dijumpai anak kecil mengenakan pakaian tentara, polisi, dan masih banyak lagi.

Orang tua dari anak tersebut berharap anaknya akan menjadi sesuai pakaian yang dikenakan saat karnaval.

Atau minimal orang tua tersebut mengidolakan sosok tertentu.

Karnaval juga bisa menjadi ajang kritik sosial.

Selama ini sikap kritis warga hanya bisa diekspresikan di warung kopi.

Mereka hanya bisa membicarakan kondisi nasional hanya diketahui sesame rekan di warung.

Dengan mengekspresikan dalam karnaval, sikap kritisnya bisa diketahui publik.

Warga bisa menggambarkan koruptor yang disimbolkan dengan tikus.

Apapun motifnya, karnaval ini menunjukan rasa gotong-royong.

Warga sudah membagi peran yang akan ditunjukan dalam karnaval.

Ada yang mendapat peran selalu naik kendaraan, dan ada pula yang selalu berjalan kaki.

Baik yang naik kendaraan atau jalan kaki sama-sama melalui jalan yang sama.

Tentunya rasa lelah yang dirasakan setelah berakhirnya karnaval berbeda.

Orang yang mendapat peran jalan kaki pasti lebih lelah dibandingkan orang yang berperan naik kendaraan.

Tapi tidak ada warga yang menuntut berganti peran selama perjalanan.

Semuanya menjalankan peran masing-masing dengan berbagai resikonya.

Karnaval juga menunjukan sisi nasionalisme dan keluguan masyarakat.

Mereka berpikir apapun yang dikorban untuk karnaval ini untuk memeriahkan perayaan sesuai momen.

Entah berapa rupiah yang sudah dikeluarkan.

Mereka tidak pernah menuntut timbal-balik.

Mungkin mereka hanya butuh air putih atau sekedar makanan ringan.

Inilah keluguan masyarakat.

Mereka tetap senang setelah karnaval berakhir.

Mereka hanya butuh istirahat agar bisa melanjutkan aktivitas kembali pada keesokan harinya.

Tidak ada lagi ekspresi imajinasi atau kritis sosial ke publik.

Mereka harus melakoni peran masing-masing sesuai realitas.

Comments