Menghargai Pangan (Hanya) Jelang Lebaran

Dalam sebulan ini aku sudah dua kali ikut inspeksi mendadak (sidak) produk pangan.

Pertama, sidak di Kabupaten Malang sisi utara.

Kedua, sidak di Kota Malang.

Dua sidak sama-sama menemukan produk pangan yang tidak layak dikonsumsi.

Saat sidak di Kabupaten Malang sisi utara, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) menemukan label produksi kadaluarsa, dan jamu ilegal.

Sedangkan di sidak kedua, Disperindag menemukan daging dan produk lainnya yang sudah kadaluarsa.

Petugas di dua sidak ini sama-sama mengklaim rutin mengawasi produk pangan.

Ironinya, masih banyak produk pangan kadaluarsa yang dijual.

Aku tidak tahu produk tersebut sempat dibeli konsumen atau belum.

Dalam dua sidak ini, produk pangan itu masih terpajang di rak penjualan.

Bukan pertama kali ini aku ikut sidak Disperindag.

Saat masih tugas di Denpasar, aku selalu ikut sidak menjelang Lebaran.

Setiap kali ikut sidak, pasti menemukan makanan tidak layak konsumsi.

Selain kadaluarsa, beberapa produk ditemukan sudah rusak, baik bungkusnya maupun produknya.

Saat ikut sidak di Singosari, aku baru tahu bahwa ucapan petugas Disperindag hanya bualan.

Seorang pedagang jamu menantang Disperindag agar tidak hanya sidak menjelang Lebaran.

Bila perlu sidak digelar rutin, entah dua bulan sekali atau tiga bulan sekali.

Pedagang itu menambahkan sidak rutin untuk memastikan Disperindag mengetahui produk yang dijual pedagang.

Mayoritas penduduk Indonesia menganut agama Islam.

Tidak mengherankan konsumsi makanan menjelang Lebaran sangat tinggi.

Akibatnya harga melambung tinggi.

Pedagang pun berlomba-lomba meraup keuntungan besar.

Segala sesuatu yang bisa dijual dan dibutuhkan masyarakat, pasti harganya mahal.

Bahkan makanan busuk atau kadaluarsa diolah lagi agar terlihat layak konsumsi.

Tidak mengherankan Disperindag menggelar sidak menjelang Lebaran.

Mayoritas pemerintah daerah (Pemda) akan menginstruksikan pegawai Disperindag untuk memantau produk.

Tujuannya hanya untuk memastikan seluruh produk yang dijual di pasaran masih layak konsumsi.

Seharusnya sidak tidak hanya digelar menjelang Lebaran.

Setiap hari masyarakat butuh konsumsi produk pangan.

Tidak menutup kemungkinan produk busuk atau kadaluarsa menjamur pada hari biasa.

Aku Disperindag jarang turun langsung ke lapangan untuk memantau kelayakan produk pangan pada hari biasa.

Pedagang pun sudah memahami karakter Disperindag.

Setiap menjelang Lebaran, seluruh produk yang dijual masih layak konsumsi.

Pedagang pasti sudah memikirkan dampak negatif bila petugas menemukan produk tidak layak konsumsi di tokonya.

Konsumennya pasti enggan membeli produk lagi di tokonya.

Di sisi lain, Disperindag juga tidak mau setiap hari turun ke lapangan untuk memantau kelayakan produk.

Dana operasional menjadi alasan utama Disperinag enggan memantau produk setiap hari.

Bahkan hanya untuk memantau harga di pasar tradisional, Disperindag memilih langkah instan.

Disperindag cukup menghubungi dua atau tiga pedagang untuk menanyakan harga sembako.

Pemda pun tidak bisa mengalokasikan dana operasional terlalu banyak.

Banyaknya instansi yang dikelolanya menyebabkan Pemda harus proporsional membagi dana APBD.

Pelayanan umum kasat mata menjadi prioritas.

Makanya Pemda lebih senang mengalokasikan dana besar pada instansi yang memberikan pelayanan umum, seperti Dinas Kesehatan (Dinkes), Dinas Pendidikan (Disdik), dan Dinas Pekerjaan Umum (DPU).

Pengawasan produk pangan kurang mendapat perhatian.

Pemda berpikir masyarakat tidak setiap hari butuh produk pangan layak.

Pedagang pun dianggap bertindak curang saat kebutuhan masyarakat meninggi.

Instansi pun mengambil langkah instan: memantau kelayakan produk hanya saat kebutuhan masyarakat meroket.

Comments