Catatan Pilpres 2014
Aku akan tidak mencoblos lagi dalam pemilihan presiden
(pilpres) nanti.
Sampai sekarang aku belum mendapat pemberitahuan atau undangan
sebagai pemilih.
Mungkin namaku masih terdaftar di Surabaya lagi.
Saat pemilihan
legislative (pileg) lalu, namaku juga terdaftar di Surabaya.
Meskipun namaku terdaftar di Malang, aku tetap tidak akan
menggunakan hak pilih.
Menurutku, dua pasangan yang bertarung dalam pilpres nanti
belum layak menjadi tauladan masyarakat.
Selama masa kampanye, keduanya sama-sama
menampilkan perilaku negatif yang tidak layak ditiru.
Melihat pertarungan dua pasangan ini, aku teringat pemilihan
wali kota (Pilwali) Denpasar 2010 lalu.
Saat itu juga hanya ada dua pasangan,
yaitu Ida Bagus Rai Mantra-Jayanegara (PDIP), dan Wayan Subawa-Ida Bagus Gede
Udiyana (Demokrat-Golkar).
Tensi pertarungan sangat tinggi.
Kedua pasangan
sama-sama menggunakan segala potensi yang dimiliki.
Keduanya sama-sama menguasai
birokrasi.
Calon PDIP menguasai birokrasi Denpasar.
Sedangkan calon Demokrat-Golkar
menguasai birokrasi Kabupaten Badung, tapi sebagaian domisili di Denpasar.
Beruntung selisih perolehan suara sangat besar, yaitu 75
persen dengan 25 persen.
Saat mengetahui raihan suara berdasar penghitungan
cepat, aku sempat bertemu dengan ketua tim pemenangan calon Demokrat-Golkar.
Dia
mengaku tidak akan mempermasalahkan kekalahan kandidat yang diusungnya.
"Selisihnya sangat besar. Kalau selisihnya tipis,
mungkin masih bisa dipermasalahkan," kata ketua tim pemenangan itu.
Sebagaimana pilwali Denpasar, tensi pertarungan di
pilpres kali ini pun cukup tinggi.
Setiap kandidat disokong oleh media massa, artis,
akademisi, dan tentunya parpol pengusung.
Tingginya tensi pertarungan sudah terlihat
dari black campaign yang sering muncul.
Bahkan kantor televisi swasta di Yogyakarta menjadi korban vandalisme simpatisan.
Pencoblosan di luar negeri sudah berakhir pada Minggu
(6/7/2014) kemarin.
Seharusnya penghitungan coblosan luar negeri baru akan
dilakukan bersamaan coblosan dalam negeri.
Sehari menjelang berakhirnya coblosan
luar negeri, sudah muncul broadcast.
Masing-masing
pasangan mengklaim menang di coblosan luar negeri.
Kemenangan akan ditentukan dalam coblosan 9 Juli 2014
nanti.
Itu pun masih menunggu penetapan KPU.
Biasanya lembaga survei berlomba-lomba menggelar penghitungan cepat pada hari H.
Sebenarnya lembaga
survei sudah mengumumkan hasil polling
menjelang coblosan.
Tapi banyak yang mengklaim hasil survei beberapa lembaga
survei hanya pesanan dari kelompok tertentu.
Tidak mengherankan hasil survei antar
lembaga survei selalu berbeda.
Saat coblosan nanti, kandidat pasti bersikap pragmatis
menyikapi hasil penghitungan cepat.
Hasil penghitungan cepat dianggap belum
final.
Mereka memilih hasil penghitungan di KPU untuk memastikan perolehan
suaranya.
Di sisi lain, hasil penghitungan cepat bisa menjadi acuan kemenangan
atau kekalahan kandidat.
Meskipun ada selisih persentase perolehan suara, selisihnya
tidak terlalu mencolok.
Pilpres kali ini dipastikan hanya satu putaran.
Capres
hanya butuh menang 50+1 agar bisa menuju Istana Presiden.
Siapapun pemenang pilpres,
aku berharap selisih perolehan suara sangat besar.
Bila selisih perolehan suara
sangat tipis, kandidat, tim sukses, atau relawan pasti tidak akan menerima kekalahan.
Ishlah elit lebih mudah dibandingkan ishlah di grass root.
Pihak yang menang pasti
berusaha merangkul pihak yang kalah.
Tawaran jabatan bisa menjadi pintu masuk
untuk ishlah di tingkatan elit.
Tapi ishlah di grass root tidak semudah membalikan telapak tangan.
Bisa saja elit-nya
sudah ishlah, tapi grass root masih
bersengketa.
Terutama di daerah yang berpotensi konflik.
Aku khawatir elit politik lepas tangan terhadap konflik
di grass root.
Konflik di grass root bagaikan bom waktu.
Konflik
akibat pilpres bisa selesai dengan keterlibatan elit politik.
Tapi peredaman ini
belum tentu bisa menyelesaikan konflik.
Setiap saat konflik bisa kembali
muncul.
Merujuk pada penyebab konflik di daerah, penyebab konflik tidak hanya
disebabkan masalah besar.
Perebutan lahan parkir bisa mengungkit kembali konflik
akibat politik sebelumnya.
Comments
Post a Comment