Percobaan Pembunuhan Soekarno di Jakarta, 30 November 1957

Presiden RI, Soekarno menghadiri acara ulang tahun ke-15 Perguruan Cikini, Jakarta Pusat pada 30 November 1957 malam.

Panitia memusatkan acara di halaman depan gedung Yayasan Perguruan Cikini.

Panitia sudah menyiapkan berbagai acara untuk merayakan ulang tahun yayasan, seperti bazar.

Soekarno datang sebagai wali murid dari anal-anaknya, yaitu Guntur, Megawati, Rahmawati, dan Guruh.

Kedatangan Soekarno ini menarik perhatian.

Wali murid dan warga sekitar berduyun-duyu datang ke lokasi.

Apalagi pihak yayasan menjadikan bazar itu untuk menggalang dana.

Guru dan karyawan sekolah sudah pasti datang.

Tapi, Soekarno harus meninggalkan sekolah sebelum acara selesai.

Para wali murid mengerubuti Soekarno sampai mobil.

Tiba-tiba terdengar suara ledakan.

Empat orang dikabarkan melempar lima granat ke arah Soekarno.

Warga yang sedang mengerumuni Soekarno tidak mendengar suara ledakan granat pertama.

Tapi, sang ajudan, Letkol Soegandhi medengar suara ledakan ini.

Soegandhi langsung mendorong Soekarno agar tiarap.

Soegandhi juga menindihi tubuh Soekarno agar tidak kena granat.

Setelah suara ledakan kelima berakhir, Soegandhi menarik Soekarno untuk menyeberang jalan.

Ledakan ini mengakibatkan 100 orang terluka, termasuk ajudan Soekarno.

Awalnya Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Kolonel Zulkifli Lubis (1923-1993) dituduh berada di balik penyerangan ini.

Tuduhan ini dilayangkan Komandan Militer (Kodam) Jakarta, Dachyar.

Serangan ini diduga terkait perseteruan antara perwira daerah dengan pusat.

Saat itu Zulkifli Lubis dikenal sebagai perwira pro daerah yang berseberangan dengan pusat.

Empat tersangka tertangkap tidak lama kemudian, yaitu Jusuf Ismail, Saadon, Tasrif, dan M Tasin.

Empat tersangka ini langsung diajukan ke pengadilan militer.

Proses persidangan membuktikan bahwa Zulkifli Lubis tidak terlibat dalam serangan terhadap Soekarno.

Tak lama kemudian muncul dugaan empat perantau asal Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) terlibat dalam serangan tersebut.

Empat perantau disebut terkait dengan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo (1905-1962).

Dalam perkembangannya, banyak versi yang memunculkan nama pelaku dan motif lain.

Mantan Panglima Besar Angkatan Perang Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta), Kolonel Alex Evert Kawilarang (1920-2000) mengakui pelaku serangan terhadap Soekarno berasal dari Bima.

Tapi, empat orang yang diseret ke pengadilan bukan pelaku utama.

Pelaku utamanya berhasil melarikan diri ke Australia.

Tasrif cs hanya bagian dari komplotan.

Kaitan pelaku dari Bima dengan DI/TII patut diragukan.

Bima tidak memiliki kaitan dengan makar yang dilakukan DI/TII.

Berbeda bila pelaku berasal dari Sulawesi Selatan (Sulsel), Jawa Barat (Jabar), Jawa Tengah (Jateng), Kalimantan Selatan (Kalsel), atau Aceh.

Ada gerakan mendirikan negara Islam di lima daerah ini.

Gerakan DI/TII di Sulsel di bawah pimpinan Kahar Mudzakar (1921-1965).

DI TII di Jabar dipimpin Karosuwiryo.

DI/TII Jateng dipimpin Amir Fatah.

DI di Kalsel dipimpin Ibnu Hadjar.

Sedangkan DI/TII di Aceh di bawah pimpinan Daud Beureu’eh (1899-1987).

Mantan Kepala Pemerintahan Militer Indonesia Timur Permesta, Herman Nicholas ‘Ventje’ Sumual berpendapat serangan terhadap Soekarno tidak terkait politik.

Menurut Sumual, peristiwa Cikini dilatari masalah pribadi.

Adik seorang pelempar granat memiliki hubungan spesial dengan Soekarno.

Hubungan ini terjalin saat Soekarno kunjungan ke Bima.

Ternyata Soekarno memutuskan hubungan ini sepihak sehingga membuat sang kakak dendam.

Sumual punmengungkap dugaan pelaku lain serangan ini.

Suatu hari di tahun 1977, Sumual bertanya dalang peristiwa Cikini ke mantan KASAD, Abdul Haris Nasution (1918-2000).

“Apa itu bukan rekayasa Markas Besar TNI AD? Setidaknya bagian intel?"

Nasution menjawab, “Entahlah. Saat itu inteljen memang sudah tak sejalan dengan saya".

Comments