Penyusunan 'Pewaris' Indonesia Bila Belanda Tangkap Soekarno dan Hatta, 1 Oktober 1945

Presiden RI, Soekarno setuju dengan usul Wakil Presiden, M Hatta yang mengusulkan ‘pewaris’ Indonesia bila dwi-tunggal tertangkap Belanda.

Kemudian Soekarno mengajak menggelar pertemuan kedua kalinya.

Pertemuan tetap digelar di rumah Ahmad Soebardjo.

Dalam pertemuan ini, Hatta mengajukan Iwa Koesoemasoemantri menggantkan Soekiman yang mewakili kelompok Islam.

Alasannya, Iwa adalah sahabat Soekiman dan dekat dengan kelompok Islam.

Semua orang yang hadir dalam pertemuan itu, yaitu Ahmad Soebardjo, Tan Malaka, dan Iwa setuju dengan usulan itu.

Dalam pertemuan yang dilakukan tanggal 1 Oktober 1945 itu, Soekarno minta Tan Malaka menyusun kata-kata yang akan dicantumkan dalam testamen.

Sebelum diketik, rancangan testamen itu diteliti oleh semua yang hadir.

Setelah semua setuju dengan kata-kata yang digunakan Tan Malaka, naskah diketik oleh Soebardjo.

Naskah dibuat sebanyak tiga rangkap.

Testamen itu ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta.

Dari empat nama yang diajukan menjadi ‘ahli waris’ Indonesia, dua orang tidak hadir, yaitu Sjahrir dan Wongsonegoro.

Soebarjo juga mendapat tugas memberikan kopi tastemen kepada Sjahrir dan Wongsonegoro.

Ternyata Sjahrir dan Wongsonegoro tidak pernah menerima salinan ini.

Soebardjo pun tidak pernah memberikannya.

Keduanya baru tahu bila namanya termasuk dari ‘ahli waris’ setelah Hatta memberitahunya.

Hatta menduga Soebardjo tidak memberikan surat itu pada Sjahrir dan Wongsonegoro karena kecewa dengan sikap Soekarno dan Hatta.

Menurut Hatta, Soebardjo kecewa karena wasit itu batal diberikan hanya kepada Tan Malaka, tapi pada empat orang, termasuk Tan Malaka.

Dalam bukunya berjudul ‘Kesadaran Nasional’, Soebardjo memiliki pendapat lain.

Soebardjo berdalih gonjang-ganjing revolusi yang menyebabkan dirinya tidak bisa memberikan salinan surat wasiat tersebut.

Comments