Ketika Anak Kaya Menjadi Miskin

Aku kenal seorang wanita berusia sekitar 18 tahun.

Dia berasal dari kalangan keluarga kaya.

Ibunya seorang politisi dan sekarang menjadi anggota DPRD tingkat II.

Aku tidak tahu apa pekerjaan bapaknya.

Keluarga ini memiliki beberapa mobil.

Entah berapa jumlah mobil.

Dia tidak pernah bercerita.

Yang jelas dia baru setahun memiliki SIM B.

Artinya dia berhak membawa mobil sendiri.

Bahkan saat sekolah pun dia naik mobil.

Padahal mayoritas teman-temannya hanya membawa motor, sepeda, atau jalan kaki.

Saat duduk di bangku SMA, dia bisa mendapat uang saku sekitar Rp 2 juta per bulan.

Orang tuanya akan menambah uang sakunya menjadi Rp 5 juta bila dia mau kuliah.

Dia tidak mau kuliah di kota kelahirannya.

Demi gengsi, dia mau kuliah di universitas negeri di luar kota kelahirannya.

Orang tuanya pun minta wanita itu mendaftar ke kampus negeri.

Lagi-lagi anak itu minta syarat untuk orang tuanya: harus pulang-pergi dari rumah sambil naik mobil.

Orang tuanya pun menolak karena khawatir resiko di jalanan.

Akhirnya, dia memilih tidak kuliah dan menikmati waktunya dengan bersantai-santai.

Sekarang orang tuanya sedang berangkat haji.

Dia adalah anak tunggal, dan hanya tinggal bersama pembantu.

Selama orang tuanya berangkat haji, dia menghabiskan waktunya untuk jalan-jalan keluar kota.

Beberapa pekan lalu, dia berada di Yogyakarta, lalu Mojokerto, dan Surabaya.

Rencana jalan-jalan ke Malang dibatalkan karena orang tuanya akan kembali dari tanah suci.

Selama melakoni keliling kota ini, dia sempat kehabisan uang.

Dia tidak berani minta uang tambahan kepada orang tuanya.

Selain sedang perjalanan ke rumah, orang tuanya pasti akan mempertanyakan kegunaan uangnya.

Dia kebingungan mencari uang untuk pulang.

Mau menelepon keluarganya, dia juga khawatir.

"Menjual diri," katanya saat kutanya cara mendapat uang.

Dia melayani lima pria hidung belang dalam waktu dua hari.

Hari pertama, dia melayani pria yang sudah berusia sekitar 45-an.

Di hari kedua, dia melayani empat orang pemuda sekaligus.

Seharusnya dia mendapat uang sekitar Rp 4 juta dari lima orang itu.

Tapi, dia hanya mendapat uang sebesar Rp 2 juta saja.

Para pemuda yang dilayani dalam satu malam tidak membayarnya.

Para pemuda ini meninggalkannya sendirian saat terlelap karena kelelahan.

Berbebal uang Rp 2 juta inilah dia pulang ke rumahnya.

Dia mengaku baru pertama merasakan pengalaman ini.

Selama berada di kota kelahirannya, dia tidak pernah menjajakan diri.

Meskipun pernah berhubungan dengan mantan pacarnya, dia tidak sampai terjerumus ke limbah hitam.

Dia beralasan menjaga nama baik orang tuanya.

Makanya begitu ada kesempatan keluar kota, dia memanfaatkannya.

Aku tidak dapat membayangkan bagaimana raut orang tuanya saat mengetahui anak semata wayangnya menjajakan diri selama ditinggal ke tanah suci.

Apalagi mereka berasal dari keluarga terpandang.

Orang kaya tidak terbiasa hidup apa adanya.

Mereka akan berusaha melakukan segala sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Begitu pula orang miskin tidak akan terbiasa melakoni hidup menjadi orang kaya.

Sekali menjadi orang kaya, orang miskin akan menghambur-hamburkan uangnya.

Inilah alasannya banyak yang tidak setuju orang miskin mendapat Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau Bantuan Langsung Sementara Msyarakat (BLSM).

Uang ini tidak bisa mengganti kemiskinannya.

Dana itu pasti langsung habis dalam waktu kurang dari dua pekan.

Para penerima akan memanfaatkannya untuk membeli kebutuhan sekunder atau tersier.

Mungkin mereka beralasan kebutuhan primer masih bisa dicari esok hari.

Comments