Ngopi Setelah Meninggal


Tetanggaku meninggal tadi pagi.

Aku tidak terlalu mengenalnya.

Jarak antara rumahku dengan rumahnya sangat jauh.

Meskipun sama-sama di RW 05, rumahnya berjarak sekitar 500 meter dari rumahku.

Sebagaimana warga lainnya, aku ikut ke pemakaman.

Jarak rumahku dengan makam dusun sangat dekat.

Mungkin hanya sekitar 100 meter.

Bahkan makam dusun sudah terlihat dari belakang rumahku.

Aku langsung memilih ke makam daripada mengantarkan jenazah dari rumahnya.

Sambil menunggu kedatangan jenazah, saya bergabung dengan warga lainnya.

Aku lebih banyak diam daripada berbagi cerita.

Saya memang tidak terlalu senang berbicara banyak dengan warga dusun.

Selain tema yang tidak kupahami, tema pembicaraan sering berhubungan dengan warga lain alias ngerasani .

Aku memilih diam sambil mendengarkan mereka bercerita.

Di antara cerita yang paling menggelitik adalah soal hati.

Beberapa warga sengaja menyiram liang lahat dengan segelas kopi.

Selain itu, sebatang rokok juga dimasukan ke liang lahat.

Aku tidak tahu maksudnya.

Warga lainnya juga tidak memberi penjelasan alasan untuk menyiram segelas kopi dan diberi sebatang rokok.

Tapi, seorang warga lain mengatakan bahwa almarhum senang nongkrong di warung kopi.

Bagi umat Islam, orang meninggal tidak boleh diberi bekal materi, kecuali hanya kain kafan.

Dalam hadits disebutkan hanya tiga hal yang bisa menemani orang meninggal selama di  alam barzah .

Yaitu sedekah jariyah, ilmu bermanfaat, dan doa anak.

Artinya, selain tiga hal ini, tidak ada sesuatu yang berharga lagi.

Sudah termasuk siraman kopi dan sebatang rokok.

Bahkan kain kafan yang dikenakan si mayat pun akan dimakan binatang tanah dalam waktu beberapa hari.

Bukan hanya kali ini saya mendengar orang mati diberi bekal materi.

Saat masih di pesantren pada pertengahan 1990-an lalu, ada orang dekat pesantren yang meninggal.

Aku pun ikut ke makam, dan melihat dari dekat proses pemakaman.

Sebelum jasadnya ditimbun tanah, seorang anak mengikuti surban di kepalanya.

Si anak mengatakan bahwa surban itu sering melukai hati beberapa tahun sebelum meninggal.

Cerita dari dunia sufi pun pernah kudengar.

Ini bercerita tentang Hasan Al-Basri.

Tetangganya yang bergama Yahudi memanggil Hasan ke rumahnya.

Ternyata bapak tetangga Hasan sedang nazak atau sekarat.

Di sela nazak-nya, si Yahudi mengaku ingin mati dalam agama Islam.

Artinya, dia bersedia mengucapkan syahadat sebagai syarat masuk Islam sebelum mau bertemu.

Sebelum mengucap syahadat, si Yahudi minta jaminan bisa masuk surga bila meninggal dalam agama Islam.

Meskipun ragu jaminannya bisa mengantarkan si Yahudi masuk surga, Hasan tetap membuat surat pernyataan.

Akhirnya si Yahudi meninggal setelah mengucap syahadat.

Surat pernyataan dari Hasan ikut dikubur bersama jasad si mualaf.

Setiap komunitas memiliki tradisi pemakaman berbeda.

Dalam tradisi Kristen, pemakaman mengenakan pakaian rapi.

Tradisi Mesir Kuno malah mayat dikubur bersama harta kekayaannya.

Terutama bila yang meninggal adalah firaun. Dan sebagainya.

Dari manapun tradisi pemakaman, tujuan dari pemakaman adalah ingin menyejahterakan orang yang sudah meninggal.

Aku tidak mengatakan pemakaman seperti tetanggaku tidak sesuai syariat Islam.

Aku juga tidak mengatakan bahwa pemakaman tetanggaku sesuai pemakaman tradisi Jawa.

Yang aku tahu, keluarga, sanak famili, dan semua tetanggaku berharap almarhum damai di alam barzah.

Comments