Tak Beragama itu Selera (1)
Menyaksikan Bukan Jalan-jalan Biasa di TVOne pada
Sabtu (3/8/2013) siang sangat mengejutkan.
Edisi kali ini bercerita soal
peninggalan peradaban Islam di Turki.
Sebelum 1924, Turki adalah negara
berbasis Islam dengan sistem feodalisme.
Turki adalah feodal Islam terakhir setelah
Perang Dunia (PD) pertama.
Setelah 1924, Turki berubah menjadi negara sekuler
republik.
Baa juga : Beragam Wajah Tuhan
Penuturan seorang warga dalam tayangan itu sangat
mengejutkan.
Mayoritas penduduk Turki tidak menjalankan puasa selama Ramadan.
Bukan karena penduduknya tidak taat pada ajaran agama.
Mayoritas
penduduk Turki tidak puasa karena tidak menganut agama, termasuk agama non-Islam.
Padahal
dalam statistik Turki, Islam masih mendominasi.
Pasang surut penganut agama di suatu negara sangat
wajar.
Mayoritas penduduk di Nusantara yang sekarang bernama Indonesia adalah
Hindu atau Budha.
Mayoritas kerajaan di Nusantara bercorak Hindu dan Budha, termasuk
Kerajaan Majapahit.
Hanya sebagaian kecil kerajaan berbasis Islam.
Mayoritas penduduk dunia beragama Kristen, disusul
Islam.
Tidak menutup kemungkinan Islam akan menjadi agama mayoritas penduduk
dunia.
Perkembangan agama Islam di sejumlah negara diklaim sangat pesat.
Amerika
Serikat (AS) dan Inggris sekarang memang didominasi penganut agama Kristen.
Baca juga : Fatamorgana Bernama Kesetiaan
Tapi
perkembangan agama Islam di dua negara tersebut juga dikabarkan sangat kencang.
Perpindahan agama oleh penganutnya sangat merisaukan tokoh
agama.
Isu Kristenisasi atai Islamisasi sempat mencuat beberapa tahun silam.
Isu
ini pun disikapi negatif oleh penganut agama.
Ada yang mengatakan bahwa
perpindahan agama ini hanya demi kebutuhan pragmatis.
Cukup dengan segepok sembako
atau uang, penganut agama rela pindah agama.
Dampaknya, mubaligh atau misionaris
pun dipandang secara sinis oleh penganut agama tertentu.
Mereka dianggap
sebagai biang kerok merosotnya penganut agama.
Dalam pengamatanku, mayoritas manusia mengikuti agama
leluhurnya.
Orang yang lahir di tengah lingkungan Islam pasti akan menjadi
penganut Islam.
Bahkan anak yang baru lahir langsung dicantumkan agama orang tua
di kartu keluarga (KK)-nya.
Padahal anak itu belum tentu mengetahui agama yang
tercantum di KK-nya.
Saat mereka dewasa dan menguru KTP, agama itulah yang
tercantum di KTP.
Perpindahan agama bukan hanya karena demi kebutuhan
pragmatis.
Mereka pindah agama setelah melalui proses panjang.
Sebagaimana pindah
kewarganegaraan bagi warga perbatasan.
Mereka yang paling tahu motivasi pindah
agama atau kewarnegaraan.
Bagi sebagaian orang, agama tertentu sangat baik dan
sempurna.
Tapi bagi penganut yang pindah agama, agama yang ditinggalkan hanya
bagian masa lalunya.
Tapi, bukan berarti agama yang ditinggalkan sanga buruk.
Aku teringat sabda Nabi Muhammad SAW, “Agama hanya
untuk orang-orang yang berakal”.
Seseorang pasti memiliki alasan menganut agama
tertentu.
Seseorang pasti memiliki alasan bersikukuh mempertahankan agamanya
sampai meninggal, seperti yang dilakukan paman Nabi, Abu Tholib.
Seseorang pun memiliki
alasan pindah agama, seperti penyebar agama Kristen, Paulus.
Mereka pun harus dihargai sebagaimana sebelum
memutuskan pindah agama.
Beragama adalah bagian dari selera dan hak.
Baca juga : Agama Instan
Tidak ada
yang bisa membatasi seseorang harus menganut agama tertentu, termasuk orang tua,
suami, atau istrinya.
Siksaan tidak akan menyurutkan niat mereka mengubah
keyakinannya, seperti Bilal ibn Rabah.
Kita tidak perlu mencibir mereka sebagai
manusia inkonsisten.
Kita yang bersikukuh dengan agama sekarang pun tidak perlu
mengklaim sebagai manusia konsisten.
Semua butuh proses untuk menemukan
kebenaran sejati.
Sudahkan kita menemukan kebenaran keyakinan yang sudah
bertahan selama puluhan tahun tercantum di KTP???
Comments
Post a Comment