Tak Beragama itu Selera (2)
“Saya mendoakan agar Thomas Alva Edison (1847-1931) mendapat
pahala sesuai jasanya. Tapi, eksekutornya tetap Tuhan.”
Kalimat itu keluar dari bibir Emha Ainun Najib (Cak
Nun) dalam Ngaji Bareng Cak Nun di depan Stasiun Kota Malang, Minggu (4/8/2013).
Pernyataan itu sebagai jawaban atas pertanyaan seorang jamaah.
Jamaah itu
bertanya 'apa ilmuwan yang berjasa terhadap manusia, tapi tidak beragama Islam tetap
mendapat pahala?'
Sekarang mayoritas manusia modern menikmati hasil temuan Alva
Edison pada 1879.
Sebenarnya jawaban yang dilontarkan Emha bukan pertama kali
aku dengar.
Saat duduk di bangku kuliah pun aku sudah sering mendengarnya.
Bahkan
banyak teman kuliahku yang mempertanyakan keadilan Allah SWT bila Alva Edison tidak
mendapat pahala.
Padahal jasanya juga dimanfaatkan oleh umat Islam.
Tapi ada pula temanku yang bersikukuh Alva Edison
tidak mendapat pahala.
Bahkan dipastikan Alva Edison akan masuk neraka.
Menurut
temanku itu, keyakinan menjadi alasan Allah SWT harus memasukannya ke neraka.
Alva
Edison diyakini belum mengucapkan syahadat sampai akhit hayatnya.
Tidak ada manusia pun yang bisa memahami keinginan
Allah.
Bahkan manusia yang waktunya digunakan untuk bersujud pun tidak akan mampu
memahami keinginan Allah.
Tapi, banyak umat Islam yang melontarkan klaim bahwa ucapan
dan tindakannya sesuai keinginan atau perintah Allah.
Penganut agama memang lebih
banyak berbicara soal trust claims
(klaim kebenaran).
Agamanya dianggap paling benar, dan agama lain salah.
Dalam lingkup
lebih kecil, pemikiran dan tindakan kelompoknya dianggap paling benar.
Bahkan pemikiran
kelompok lain, sekalipun masih seagama, dianggap salah.
Fenomena sweeping
selama Ramadan pun berpijak dari trust claims.
Aparat penegak hukum dianggap bersalah karena membiarkan penjualan miras dan hiburan
malam tetap buka.
Bergaya seperti penegak hukum, beberapa kelompok melakukan sweeping di tempat penjualan miras atau
hiburan malam.
Tidak ada yang melegimitasi tindakan tersebut.
Tapi, mereka yakin bahwa tindakannya benar, baik dari segi agama maupun peraturan
negara.
‘Eksekutor’. Itu yang aku ingat dari ucapan Emha.
Aku menafsirkan
kata ‘eksekutor’ itu adalah penentu akhir tindakan manusia.
Manusia bebas
melakukan apapun, termasuk trust claims.
Tapi belum tentu tindakan kelompok itu dianggap kebenaran oleh kelompok lain.
Aku
yakin mayoritas umat Islam menolak bila tindakan sweeping yang sering disertai kekerasan itu mengatasnamakan Islam.
Bahkan
belum tentu Allah pun membenarkan tindakan sweeping
itu.
Dua orang bule asal Amerika
Serikat (AS) hadir dalam pengajian itu.
Namanya Daniel dan Andrea.
Mereka sedang belajar Bahasa
Indonesia di Universitas Negeri Malang (UM).
Mereka bukan penganut agama
Islam.
Mereka hanya hadir di tengah pengajian dan mendengarkan bacaan selawat.
Meskipun tidak memahami
maksud bacaan yang didengarkan, mereka tetap bertahan sampai acara berakhir
pada pukul 00.00 WIB.
"Hidup akan terasa indah bila kita saling mengenal. Mereka
(kedua bule) bisa mengenal kita. Kita pun bisa mengenal mereka".
Ucapan itu dilontarkan
Cak Nun setelah menyuruh dua bule itu naik ke panggung.
Mengenal bisa menumbuhkan toleransi.
Kita tidak lagi
terkotak-kotak dengan skat agama setelah mengenal penganut agama lain.
Agama yang
tercantum di KTP boleh berbeda.
Biarkan agama di KTP itu sesuai selera mereka.
Tapi,
tidak ada perbedaan dalam kehidupan.
Kita sama-sama makan nasi.
Kita sama-sama
berhak mendapat pendidikan terbaik.
Bahkan kita pun berhak mendapat pendamping
terbaik.
Comments
Post a Comment