Belajar dari Perjalanan Hidup BJ Habibie (1)

Aktivitas dua hari terakhir sangat melelahkan.

Aku harus melakoni perjalanan dari Malang ke Jakarta, Kamis (29/8/2013).

Aku tiba di Jakarta sekitar pukul 15.00 WIB.

Aku tidak bisa langsung menuju hotel untuk istirahat.

Aku harus mengantarkan temanku ke kantornya di MNC Tower dulu.

Temanku ada urusan sebentar soal pekerjaannya.

Setelah urusan temanku selesai, aku harus hadir di resepsi ulang tahun ke-19 Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Gedung Usmar Ismail, Kuningan.

Wartawan dari berbagai kota hadir dalam resepsi ulang tahun AJI.

Mayoritas aku tidak mengenalnya.

Hanya sebagaian kecil yang kukenal wajah, tapi aku lupa nama dan dimana pernah bertemu dengannya.

Aku sempat bertemu dengan teman organisasi saat mahasiswa dulu.

Sebelum aku menyapa dan bercengkrama, dia sudah meninggalkan gedung.

Dari rangkaian acara resepsi, aku terpaku dengan orasi kebudayaan mantan presiden RI, BJ Habibie.

Selama ini aku tahu Habibie di televisi, radio, media online, dan media cetak.

Menurutku, mimik wajah Habibie sangat khas saat berbicara.

Mulutnya terlihat menceng selama berbicara.

Kumis tipisnya pun sangat khas.

Presiden pertama di Era Reformasi ini berbicara soal banyak hal.

Mulai masalah politik di masa transisi sampai kisah percintaannya dengan istrinya, Ainun.

Banyak hal yang membuatku kagum pada Habibie.

Usianya sudah sekitar 75 tahun.

Tapi, staminanya tidak seperti orang yang sudah berumur kepala tujuh.

Jalannya tanpa perlu bantuan tongkat atau dituntun sanak famili.

Saat datang sampai keluar Gedung Usmar Ismail, aku tidak melihat Habibie dituntun karena tidak mampu berjalan.

Peserta resepsi hanya menuntun saat Habibie akan keluar gedung.

Peserta berebut berjabat tangan dengan Habibie sehingga menyulitkannya keluar gedung.

“Saya renang selama tiga jam per hari. Banyak minum air putih. Dan tidur sebentar. Empat jam sudah cukup. Justru kalau saya tidur di atas empat jam, kepala rasanya pusing,” kata Habibie.

Resep pertama dan kedua memang sangat logis.

Semua dokter pasti mengatakan renang dan banyak minum air putih bagus untuk kesehatan.

Tapi, aku tidak tahu bagaimana cara Habibie menjaga kesehatan dengan hanya tidur empat jam sehari.

Dokter selalu menyarankan setiap orang harus tidur antara 6-8 jam per hari.

Aku sering tidur di bawah enam jam per hari.

Aktivitasku selalu terganggu setelah aku kurang tidur.

Kepala terasa sangat berat.

Mata ingin selalu tertutup sehingga menganggu konsentrasi.

Bahkan makan dan merokok terasa tidak enak.

Dalam kondisi seperti ini, biasanya aku memperbanyak minum air putih.

Sebenarnya memperbanyak minum air putih bukan solusi.

Rasa kantuk tidak bisa hilang, dan masih sulit konsentrasi.

Minimal aku bisa mengabaikan rasa kantuk dan memaksa pikiran tetap konsentrasi.

Habibie mengibaratkan perjalanan manusia sama dengan perangkat komputer.

Ada kalanya fisik hang sebagaimana yang terjadi di komputer.

Cara penyelesaiannya pun sama dengan komputer saat hang, yaitu di-restart.

Dalam menjalankan restart, Habibie mengembalikan pertemuannya dengan Ainun.

Habibie ‘mengenal’ Ainun saat masih berusia belasan tahun.

Usia Habibie dan Ainun hanya selisih setahun.

Habibie mengaku mengenal Ainun yang masih berusia 12 tahun.

Tapi bukan moment ini yang dijadikan bagian restart oleh Habibie.

Justru Habibie menjadikan moment ‘pertemuan’ di usia matang untuk restart, yaitu saat usia 25 tahun.

Habibie menilai usia matang inilah yang bisa menjadi momet untuk restart.

Sisi romantis sang insinyur inilah yang membuat publik iri.

Ainun hanya mencintai Habibie sampai akhir hidupnya.

Begitu pula Habibie yang sampai sekarang masih mempertahankan kedudaannya setelah ditinggal Ainun.

Tentunya tidak banyak yang tahu masa lalu Habibie dan Ainun, baik sebelum atau setelah menikah.

Pertengkaran pasti ada.

Tapi, pertengkaran memang hal biasa selama perkawinan.

Comments