Menjadi Diri Sendiri di Atas Ketinggian
Dua hal yang aku rindukan dari Bali, yaitu pemandangan
laut lepas dan ketinggian perbukitan.
Tiga tahun berada di Bali, aku sering bermain
di beberapa pantai di Denpasar, Badung, dan Tabanan.
Kadang aku bermain di Pura
Uluwatu yang berada di atas perbukitan.
Naik ke atas gunung atau bermain di pantai memang hobiku
sejak remaja.
Sejak kembali dari Bali, aku tidak pernah naik gunung maupun bermain
ke pantai.
Sebenarnya aku memiliki waktu untuk menyalurkan hobiku.
Libur reguler
sehari bisa manfaatkan untuk naik gunung maupun bermain ke pantai.
Tapi perjalanan
ke pantai atau gunung pasti sangat melelahkan.
Padahal aku tidak bisa bekerja
dengan tenang bila dalam kondisi terlalu capek.
Bukan tanpa alasan aku senang naik gunung atau bermain
ke pantai.
Saat duduk di bangku kuliah dulu, aku senang naik gunung.
Gunung Panderman
(lebih tepat disebut bukit) menjadi tempat favoritku dan teman-teman.
Kadang aku
naik Panderman sendiri bila tidak ada teman yang mau naik gunung.
Aku dulu percaya bahwa naik gunung bisa mengetahui karakter
seseorang.
Cara ini sangat ampuh untuk pola pengkaderan di organisasiku semasa
kuliah.
Dengan mengetahui karakter seseorang, aku bisa menentukan pola merekrut
seseorang masuk ke organisasiku.
Karena organisasi butuh ikatan
persaudaraan.
Tapi bagiku pribadi, naik gunung bisa untuk merenung.
Kita
bisa memikirkan apa yang terbaik untuk masa depan.
Tentukan perenungan berdasar
masa lalu yang sudah kita kerjakan.
Dengan merenung seorang diri, kita tidak memiliki
gangguan.
Di sisi lain, naik gunung untuk bisa menimbulkan
kepercayaan diri.
Perasaan bangga akan timbul setelah tiba di puncak.
Tidak semua
orang bisa melakukannya.
Dengan melihat pemandangan di bawah, kita bisa merasa
angkuh.
Kita seperti raksasa yang berdiri di atas deretan semut.
Pantai juga bisa digunakan untuk menerung.
Berbeda dengan
ketika berada di atas gunung, kita merasa lemah ketika berada di bibir pantai.
Aku
biasa membayangkan ketika seorang diri terombang-ambing di tengah laut.
Tidak ada
orang lain yang akan menolong.
Bekal makanan pun pasti terbatas.
Peluang hidup
juga sangat kecil.
Sekarang aku tidak bisa menjadi orang sombong seperti
di atas gunung, atau menjadi orang lemah seperti di bibir pantai.
Tapi aku masih
bisa merenung di tengah sendirian.
Tentunya merenung yang sekarang berbeda
ketika merenung di atas ketinggian atau di bibir pantai.
Aku hanya bisa merenung
di rumah ketika anggota keluargaku keluar rumah.
Atau aku merenung di kafe tempatku
biasa nongkrong.
Rasa hampa sangat terasa ketika sendirian di rumah.
Tidak
ada orang yang bisa diajak bicara.
Aku sering membayangkan kondisi seperti
inilah yang terjadi di alam kubur.
Kekosongan, kehampaan, dan kegelapan yang menemani.
Percuma kita berteriak minta tolong saat membutuhkan bantuan.
Ketika merenung di kafe, aku lebih senang mengamati pola
pengunjung kafe.
Ada yang datang bersama teman atau kekasihnya.
Ada juga yang
datang seorang diri.
Segala jenis pembicaraan terdengar, mulai dari masalah kuliah,
keluarga, sampai masalah kasih sayang.
Intinya, segala macam problema bisa
didengarkan di kafe.
Manusia tidak bisa dilepaskan dari lingkungan
sosialnya.
Ketika berada di tengah masyarakat, kita harus menyatu dengan
lingkungan.
Tapi kita juga butuh menjadi diri sendiri.
Menyendiri dan merenung
adalah solusi untuk menjadi diri sendiri.
Kita bisa memikirkan apa yang harus dilakukan
di masa depan.
Justru dengan menjadi diri sendiri, kita bisa menempatkan posisi
di tengah masyarakat.
Comments
Post a Comment