Wartawan, Penculikan, dan Narkoba

"Wartawan itu lost contact (putus kontak) sejak Senin malam.Orang kantor mau ke sana, sekalian lapor polisi."

Aku terima pesan singkat itu dari editor media online.

Aku sudah mendengar wartawan itu putus kontak sebelum editor itu menghubungi aku.

Beragam spekulasi muncul terkait hilangnya wartawan itu.

Ada yang mengaitkan hilangnya wartawan itu dengan penculikan.

Maklum saja, saat itu situasi sedang genting pasca tragedi Kanjuruhan yang menewaskan ratusan orang.

Sejak wartawan itu putus kontak, aku tidak mengaitkan dengan penculikan.

Biasanya wartawan diculik terkait dengan berita sensitif.

Aku tahu karakter wartawan yang putus kontak tersebut.

Selama ini wartawan itu tidak pernah menulis berita sensitif.

Makanya aku tidak berpikir wartawan itu hilang akibat diculik terkait berita.

Saat komunikasi dengan editor itu, aku langsung minta daftar berita yang ditulis wartawan itu sebelum putus kontak.

Sekitar lima menit kemudian, editor itu mengirim tiga berita yang ditulis oleh si wartawan.

Awalnya aku hanya membaca judulnya. Tidak ada yang aneh atau sensitif.

Tapi untuk memastikannya, aku buka tiga link berita itu.

Isi berita sangat datar, dan tidak ada hal sensitif.

Bahkan isi berita di media itu sama dengan isi berita di media lain.

Setelah membaca tiga berita itu, aku memastikan bahwa wartawan itu putus kontak bukan terkait berita.

"Wartawan itu termasuk dari tiga orang yang ditangkap. Sedangkan tiga lainnya kabur. Polisi menyita 100 kilogram (Kg)," kata editor itu.

Barang bukti (BB) cukup besar untuk kasus narkoba.

Biasanya BB sebesar itu bukan pemakai, tapi kurir atau pengedar.

Editor itu belum tahu peran si wartawan sebagai pengedar, kurir, atau hanya kebetulan ada di rumah kontrakan itu saat penggerebekan.

Beberapa hari kemudian, ada teman yang melihat si wartawan sudah mengunggah status di media sosialnya.

"Aku sekarang ditugaskan di luar kota," kata si wartawan.

Tapi, sampai sekarang belum ada penjelasan soal peran wartawan itu dalam jaringan narkoba.

Bukan hanya ini kali ini saja aku mendapat kabar wartawan hilang dan dikaitkan dengaan isu penculikan.

Aku juga sempat mendapat kabar wartawan hilang pada tahun 2016.

Saat itu aku mengetahui pertama kali wartawan itu hilang dari status WhatsApp (WA) teman.

Katanya, wartawan itu hilang sejak sehari sebelumnya.

Ponselnya aktif, tapi tidak merespon telepon atau WA.

Keluarga sudah sempat bertanya ke teman-teman seprofesi, tapi tidak ada yang tahu.

Keluarga juga sempat lapor ke polisi, tapi juga tidak ada kepastian keberadaannya.

Kabar burung beredar bahwa wartawan itu sempat bertemu seseorang di pelabuhan.

Setelah dari pelabuhan, wartawan itu terdeteksi berada di luar kota.

Tapi belum ada kejelasan kabar tentang wartawan itu.

Dua hari kemudian, ada telepon masuk ke ponsel keluarga.

Si penelepon minta keluarga datang ke kantor polisi.

Si penelepon tidak memberi penjelasan penyebab wartawan itu berada di kantor polisi.

Polisi baru memberi tahu setelah keluarga datang ke kantor polisi.

Ternyata wartawan itu terlibat dalam jaringan narkoba.

Jadi selama wartawan itu berada di kantor polisi, ponselnya tetap aktif.

Keluarga tidak bisa menghubungi wartawan karena polisi menggunakan ponsel si wartawan untuk melacak jaringannya.

Sangat miris. Tapi, aku sangat lega karena keberadaan wartawan itu sudah diketahui.

Profesi wartawan memang rentan menjadi korban kejahatan, seperti penganiayaan, penyekapan, doxing, peretasan, dan sebagainya.

Selama menjadi wartawan, aku sering mendengar wartawan menjadi korban kejahatan.

Ada dua sebab wartawan menjadi korban kejahatan, yaitu terkait profesi, dan masalah pribadi.

Profesi Wartawan

Kerja wartawan dilindungi UU 40/1999 tentang Pers.

UU yang disahkan pada 23 September 1999 menjamin kemerdekaan pers sebagai wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum (Pasal 2 UU Pers).

Sedangkan profesi wartawan terikat dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Dewan Pers menetapkan KEJ melalui Peraturan Dewan Pers nomor 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan Pers tertanggal 14 Maret 2006.

Selain mengacu pada KEJ keluaran Dewan Pers, sejumlah orgaanisasi wartawan juga memiliki kode etik sendiri.

Secara subtansi, kode etik keluaran organisasi wartawan tidak berbeda jauh kode etik dewan.

UU Pers dan KEJ menjadi kunci keselamatan bagi wartawan dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistik.

Mayoritas wartawan atau karya jurnalistik yang tersandung masalah karena mengabaikan kaidah jurnalistik.

Meskipun sudah berpatokan pada kaidah jurnalistik, belum tentu wartawan atau karya jurnalistiknya aman.

Kadang ada pula pihak yang memang tidak ingin kepentingannya terganggu atau terhalangi oleh jurnalis.

Orang-orang seperti inilah yang sering memperkaran wartawan atau karya jurnalistik, termasuk wartawan atau karya jurnalistik yang bekerja sesuai kaidah jurnalistik.

Makanya bila ada wartawan yang menjadi korban kejahatan, harus ditelusuri dulu sejumlah berita yang pernah ditulis dalam beberapa waktu terakhir.

Bila ada berita sensitif, bisa jadi kejahatan yang dialami wartawan tersebut terkait dengan berita.

Dalam konteks ini, perusahaan harus menjadi garda terdepan untuk melindungi dan membela wartawan.

Tapi bila wartawan tersebut tidak menulis berita sensitif dalam beberapa waktu terakhir, bisa jadi kejahatan tersebut terkait dengan masalah pribadi.

Pribadi Wartawan

Profesi wartawan sama dengan profesi lain, yaitu melekat pada individu.

Artinya, wartawan tetap menjalankan kerja jurnalistik tanpa terikat pada ruang dan waktu.

Misalnya, saya setiap hari bertugas di Jakarta. Suatu hari saya perjalanan ke Surabaya.

Bila dalam perjalanan ada peristiwa, saya tetap harus menjalankan kerja jurnalistik.

Meskipun profesi wartawan melekat, tapi wartawan tetep memiliki hak privat, misalnya kehidupan sosial di masyarakat, peran dalam keluarga, dan sebagainya.

Saat berperan sebagai individu, bisa jadi si wartawan ada problematika yang diiringi dengan tindak kejahatan, baik sebagai pelaku maupun korban.

Dalam konteks ini, si wartawan tidak bisa dikaitkan dengan profesinya.

Misalnya ada wartawan menjadi korban pemukulan karena terkait utang piutang.

Dalam penerapan pasal tindak pidana atau pemberitaan tidak bisa mengaitkan kasus tersebut dengan penghalangan kerja jursnalis atau penganiayaan terhadap wartawan.

Memang profesi korban adalah wartawan. Tapi, dalam rentetan kasusnya, si wartawan tidak sedang menjalankan kerja jurnalistik.

Jadi, sebelum mengaitkan tidak pidana yang melibatkan wartawan dengan UU Pers, perlu ditelusuri kronologi kasus dan motif di balik kasus tersebut.

Bila kasus tersebut terkait dengan kerja jurnalistik, penyidik bisa menjerat pelaku dengan UU Pers, dan perusahaan media atau organisasi profesi mengadvokasi wartawan tersebut.

Tapi bila si wartawan tidak sedang menjalankan kerja jurnalistik, penyidik cukup menjerat pelaku dengan pasal sesuai UU lain, misalnya KUHP.

Begitu pula bila wartawan terlibat dalam tindak pidana, UU Pers tidak bisa digunakan sebagai tameng untuk melegitimasi tindak pidana tersebut.

Misalnya dalam kasus wartawan dan jaringan narkoba di atas, si wartawan tidak bisa melegitimasi tindakannya untuk kerja jurnalistik.

Comments