Daftar Istilah dalam Berita Hukum dan Kriminal, Mulai D sampai Daluwarsa

Tulisan ini lanjutan dari tulisan Daftar Istilah dalam Berita Hukum dan Kriminal sebelumnya.

Tulisan ini berisi istilah mulai dari D sampai Daluwarsa.

D
D merupakan kode wilayah Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) eks Keresidenan Priangan yang meliputi Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Bandung.

Asal kendaraan dapat diketahui dari huruf pertama di belakang angka.

Kendaraan dari Kota Bandung menggunakan huruf A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, L, M, N, O, P, Q, dan R setelah angka.

Huruf S dan T setelah angka digunakan kendaraan dari Kota Cimahi.

Kabupaten Bandung Barat menggunakan huruf U dan X setelah angka.

Sedangkan kendaraan dari Kabupaten Bandung menggunakan huruf V, W, Y, dan Z setelah angka.

Khusus kendaraan baru, menggunakan kode wilayah yang berbeda.

Mobil keluaran dari Bandung menggunakan huruf QZZ, QZX, QXX, dan QXZ setelah angka, serta kode wilayah RZZ, RZX, RXX, dan RXZ di belakang angka untuk motor keluaran baru.

Mobil dan motor baru dari Kabupaten Bandung menggunakan kode wilayah YXX, YYX, dan ZXX di belakang angka.

Sedangkan mobil dan motor keluaran baru dari Kabupaten Bandung Barat menggunakan kode wilayah TXX dan TXY di belakang angka.

Pelat nomor khusus ini hanya berlaku sebulan atau sampai pelat nomor resmi terbit.

Daun
Mungkin istilah ini sudah sangat familiar. Kata ganja sering disebut dengan istilah daun. Di Jawa, kadang menggunakan istilah godong yang juga bermakna daun.

Penggunaan kata daun dan godong di kepolisian sudah pasti merujuk pada ganja. Sebab, ganja berbentuk daun.

Daluwarsa (1)
Ada 16 kata daluwarsa dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). 16 kata tersebar di 10 pasal, yaitu Pasal 76 sampai Pasal 85.

Namun, sebenarnya tidak ada kata daluwarsa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Bila mencari kata daluwarsa dalam KBBI, akan diarahkan ke kata kedaluwarsa.

Penjelasan daluwarsa atau kedaluwarsa tidak ada dalam KUHP. Penjelasannya dapat ditemukan melalui penjabaran 10 pasal itu.

Sesuai KBBI, kedaluwarsa adalah (1) tidak model lagi (baju, kendaraan, dan sebagainya); tidak sesuai dengan zaman; (2) sudah lewat (habis) jangka waktunya (tentang tuntutan dan sebagainya); habis tempo; dan (3) terlewat dari batas waktu berlakunya sebagaimana yang ditetapkan (tentang makanan).

Dalam kasus di kepolisian, kedaluwarsa biasanya digunakan untuk defini kedua, dan ketiga. Sesuai definisi kedua, ketentuan soal daluwarsa dapat dilihat dalam Bab VIII KUHP tentang Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana.

Berikut ini beberapa inti dari Bab VIII KUHP.

Pasal 76 ayat 1 menyebutkan seorang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang telah diadili oleh hakim Indonesia dengan putusan tetap.

Pasal 77 menyebutkan kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh meninggal dunia.
Pasal 78 ayat 1 menyebutkan kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa : 1. mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun; 2. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun; 3. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun; 4. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.

Daluwarsa (2)
Selain digunakan untuk kasus atau perkara, istilah kedaluwarsa juga digunakan untuk menyebut masa berlaku makanan.

Beberapa aturan di Indonesia menggunakan istilah berbeda untuk menyebut istilah ini.

Misalnya UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menggunakan kadaluwarsa. Sedangkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) 180 /Men.Kes/Per/IV/85 tentang Makanan Daluwarsa menggunakan istilah daluwarsa.

Dalam Pasal 1 huruf c Permenkes itu disebutkan bahwa makanan daluwarsa adalah makanan yang telah lewat tanggal daluwarsa.

Selanjutnya di huruf d disebutkan bahwa tanggal daluwarsa adalah batas akhir suatu makanan dijamin mutunya sepanjang penyimpanannya mengikuti petunjuk yang diberikan oleh produsen.

UU 8/1999 hanya sekali menyebut kata kadaluwarsa. Kata ini dapat ditemukan dalam Bab IV tentang Perbuatan yang Dilarang bagi Pelaku Usaha.

Larangan lain bagi pelaku usaha adalah memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang (a) tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; (b) tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; (c) tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; (d) tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; (e) tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.

Pelaku usaha juga dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang (f) tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; (g) tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label; (i) tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/ dibuat; (j) tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pelanggaran terhadap Pasal 8 diatur dalam Pasal 62. Dalam ayat 1 disebutkan bahwa pelaku usaha yang melanggar ketentuan dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun atau pidana denda maksimal Rp 2 miliar.

Comments