Wartawan Kok Memeras

Aku mendengar kabar wartawan memeras kepala sekolah di Gondanglegi, Kabupaten Malang sejak beberapa hari lalu.

Sesuai berita yang kubaca, pelaku berinisial EY (49) itu mengaku sebagai wartawan R*d*r X.

Dalam kasus ini, polisi menyita kartu tanda pengenal pers bernama R*D*R X dan kartu LSM.

Aku baru pertama kali mendengar nama media itu.

Iseng-iseng aku coba telusuri media tersebut.

Dalam boks redaksi ada tulisan 'Bekerja sama dengan LSM'.

Aku memang tidak bermaksud menelusuri media tersebut lebih dalam.

Aku hanya ingin memastikan bahwa media tersebut benar-benar ada.

Aku menelusuri medai tersebut sebelum memberi jawaban atas pertanyataan wartawan.

"Bagaimana tanggapan terkait adanya laporan pelecehan profesi wartawan oleh media ke SPKT Polres Malang yang ditujukan kepada kepala sekolah di Gondanglegi?"

Aku minta waktu sekitar satu jam untuk menuliskan tanggapan atas kasus tersebut.

Tulisan ini merupakan tanggapan yang kukirim kepada wartawan tersebut.

Dalam menjalankan tugasnya, jurnalis harus bekerja secara profesional.

Artinya, kerja jurnalis harus sesuai UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

KEJ menyebutkan bahwa wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Dalam hal ini, wartawan dilarang menerima segala sesuatu dari narasumber atau pihak lain yang berpotensi mempengaruhi indepensi pemberitaan.

Ada beberapa catatan terkait pemerasan yang dilakukan wartawan gadungan di Gondanglegi.

Pertama, untuk narasumber

Narasumber harus selektif melayani orang yang mengaku sebagai wartawan.

Narasumber harus memastikan orang yang datang atau menelepon tersebut benar-benar wartawan yang bekerja secara profesional di perusahaan media profesional.

Bila meragukan identitas wartawan, narasumber bisa mengecek melalui https://dewanpers.or.id/data/sertifikasi_wartawan.

Media si wartawan tersebut juga bisa dilacak melalui https://dewanpers.or.id/data/perusahaanpers.

Tapi, cara ini bukan satu-satunya cara untuk memastikan orang tersebut adalah wartawan profesional.

Apalagi sekarang banyak media komunitas atau media warga yang menerapkan kerja sesuai KEJ

 Narasumber bisa memastikan melalui tujuan wartawan tersebut datang atau menelepon.

Bila wartawan tersebut datang hanya untuk verifikasi dan konfirmasi informasi, lebih baik narasumber tetap melayaninya.

Tapi bila orang tersebut datang dengan mengancam atau memeras, lebih baik dilaporkan ke polisi.

Pengancaman dan pemerasan merupakan perbuatan terlarang bagi wartawan.

Kedua, untuk polisi

Ada MoU antara Dewan Pers dan Kapolri nomor 03/DP/MoU/III/2022 atau nomor NK/4/III/2022.

Nota kesepemahaman ini untuk melindungi wartawan yang bekerja secara profesional.

Dalam Pasal 5 poin (3) disebutkan bahwa bila dari hasil koordinasi disimpulkan sebagai tindak pidana, maka laporan/pegaduan tersebut ditindaklanjuti dengan proses penyidikan.

Jurnalistik dan tindak pidana merupakan dua hal yang berseberangan.

Wartawan tidak boleh melakukan atau terlibat dalam tindak pidana dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistik, seperti pemerasan, pengancaman, dan sebagainya.

Polisi harus menindak tegas wartawan yang menyalahgunakan profesi atau wartawan yang terlibat dalam tindak pidana.

Polisi bisa menggunakan KUHP untuk menjerat wartawan yang menyalahgunakan profesi atau wartawan yang terlibat dalam tindak pidana tersebut.

Ketiga, untuk wartawan

Wartawan adalah profesi yang terbuka.

Siapa saja bisa menjadi wartawan.

Tidak perlu lulusan Ilmu Komunikasi untuk menjadi wartawan.

Lulusan Teknik Sipil, Elektronik, dan sebagainya bisa menjadi wartawan.

Tapi yang lebih penting adalah proses saat menjadi wartawan.

Wartawan tidak hanya dituntut bekerja sesuai kaidah jurnalistik.

Wartawan juga harus memiliki etika dalam menjalankan tugasnya.

Sudah banyak kasus pemerasan yang melibatkan wartawan, baik oknum atau wartawan gadungan.

Ini membuktikan masih banyak wartawan yang bekerja dengan mengabaikan KEJ.

Apapun latar belakang pelaku, pemerasan atas nama wartawan telah mencoreng profesi wartawan.

Ini menjadi catatan bersama bagi organisasi wartawan bahwa sertifikat UKJ/UKW tidak bisa menjadi parameter profesionalitas wartawan.

Kepatuhan pada Kode Etik juga harus menjadi parameter untuk mengukur profesionalistas wartawan.

Comments