Memendam Emosi dalam Hati
Tidak ada yang mengetahui datangnya kematian.
Termasuk orang yang ingin mengakhiri hidupnya.
Orang yang mengakhiri hidupnya hanya berusaha agar bisa mati.
Tapi berbagai upaya belum
tentu berhasil.
Sering kali orang yang sudah mencoba berbagai cara malah tidak
langsung meninggal.
Ada pula yang karena tergores jarinya, langsung meninggal.
Kasus bunuh diri yang kudatangi siang tadi, menurutku, benar-benar misterius.
Pihak keluarga tidak mengetahui motif korban mengakhiri hidupnya.
Selama
ini korban lebih sering menutup diri.
Tidak banyak keluhan yang dikemukakan kepada orang lain.
Keluarga pun tidak mengetahui apa saja yang dipikirkan korban
sehingga nekad mengakhiri hidupnya.
Keluarga hanya mengetahui bahwa korban pendiam,
tidak banyak bicara, dan tentunya sangat baik.
Setiap orang pasti memiliki masalah.
Tapi tidak semua orang mau mengemukakan
masalahnya kepada orang lain.
Ada yang memilih memendam sendiri masalahnya.
Ada
pula yang lebih senang memendam masalahnya.
Ada pula yang hanya menceritakan
masalah tertentu kepada orang lain.
Sedangkan masalah lainnya dipendam sendiri.
Apapun sikap yang dipilih, pasti ada resikonya.
Orang lain bisa mencari
solusi bila ada orang yang mau bercerita masalahnya.
Jadi bagi pemilik masalah,
kendalanya bisa segera diselesaikan.
Tapi resikonya, orang lain akan mengetahui
masalah yang dihadapi.
Secara tidak langsung orang tersebut berutang budi
kepada orang lain.
Di sisi lain, hal ini juga bisa menjadi boomerang.
Orang lain
bisa menggunakan masalah tersebut untuk kepentingannya sendiri.
Bila pemilik masalah tidak mau bercerita kepada orang lain, hanya dia
sendiri yang mengetahui masalahnya.
Konsekwensinya, masalah ini belum tentu menemukan
solusi.
Meskipun bisa menemukan solusi, butuh waktu lebih lama dibandingkan
berbagi dengan orang lain.
Pemilik masalah pun tidak perlu khawatir orang lain akan
memanfaatkan masalahnya untuk kepentingan pribadi.
Merujuk pada dua hal ini, cotoh kasus yang kutemui siang tadi mengacu
pada poin kedua.
Hanya korban yang mengetahui masalahnya.
Sampai akhir
hayatnya, orang lain tidak mengetahui masalahnya.
Masalah ini dibawa sampai kematiannya.
Meskipun ada yang mau bercerita, bisa jadi itu hanya asumsi.
Kebenarannya hanya
versi orang yang bercerita.
Kecuali bila korban sempat bercerita sebelum bunuh
diri.
Menanggung beban sendiri memang sangat berat.
Seandainya korban sudah
menikah, aku yakin dia bisa berbagi dengan istrinya.
Aku tidak tahu korban
sudah memiliki pacar atau belum.
Seandainya korban sudah memiliki pacar, aku
tidak dia mau menceritakan masalahnya.
Sebab, pacar juga bisa menjadi musuh
dalam selimut.
Sewaktu-waktu pacar bisa menceritakan masalah tersebut ke orang
lain.
Apalagi bila keduanya sudah tidak ada ikatan lagi.
Sebenarnya berbagi masalah tidak harus kepada orang lain.
Menulis juga
bisa menjadi solusi.
Seseorang bisa mengemukakan masalahnya melalui tulisan.
Model
ini memang tidak bisa menemukan solusi.
Minimal masalah tersebut tidak hanya dipikirkan
sehingga menjadi beban.
Masalah harus dikeluarkan dengan jalan apapun.
Masalahnya,
tidak semua orang bisa mengekspresikan pikirannya melalui tulisan.
Apalagi tulisan
tersebut harus sampai puluhan paragraf.
Tapi yang perlu diketahui, menulis untuk mengekspresikan masalah tidak
harus sampai puluhan paragraf.
Seseorang mungkin bisa mengambil secarik kertas
dan bulpoin atau pensil.
Tuliskan satu satu kata berisi umpatan.
Tulisan ini tidak
perlu diberikan kepada orang lain.
Setelah selesai menulis, bakarlah kertas
itu.
Paling tidak umpatan ini sebagai media mengekspresikan masalah yang ada di
otak.
Bila cara ini juga tidak membuahkan hasil, datanglah ke luar jauh dari
pemukiman.
Bisa ke tengah persawahan, lapangan, atau sungai.
Berteriaklah sekuat
tenaga.
Tapi sebelum berteriak keras, pastikan tidak ada orang lain di sekitar
tempat tersebut.
Bila ada orang lain, pasti akan menganggapnya gila.
Sebagaimana
menulis pada secarik kertas, cara ini juga untuk meluapkan emosi.
Solusi ini hanya pengalaman pribadi.
Semoga
bisa berguna bagi orang lain.
Comments
Post a Comment