Maaf, Aku Jual Profesi

5 Juni 2007 pukul 18.00 WIB.

Aku pamit kepada orang keluarga dan familiku.

Aku pergi ke Bali.

Ini adalah pertama kalinya aku pergi terjauh pertama kalinya tanpa keluarga.

Tidak ada sanak famili atau keluarga di Bali.

Tidak ada teman maupun kenalan.

Ibuku sempat menangis.

Dia berusaha minta aku membatalkan niatku.

Tapi aku bersikukuh merantau.

Apalagi biaya travel sudah kubayar.

Setelah aku berada di Bali, orang tuaku masih sering menelepon.

Pesannya cuma satu dan terus ulang-ulang.

Pesan inilah yang selalu kukenang.

Bahkan sampai sekarang orang tuaku sering mengulang pesannya.

Pesan ini terkait profesiku yang bersingguhan dengan orang lain dari berbagai profesi, pekerjaan, latar belakang, dan sebagainya.

"Harus pandai jaga diri, dan hati-hati menulis," kata orang tuaku.

Awal Februari 2009.

Wartawan Radar Bali, Anak Agung Prabangsa ditemukan tewas.

Belakangan diketahui tewasnya Prabangsa terkait berita yang ditulisnya.

Sebelum fakta ini terkuak, orang tuaku kembali menelepon.

Dia sempat melihat kematian Prabangsa dari televisi.

Lagi-lagi dia mengulang pesan sebelumnya.

Aku hanya mengangguk dari seberang telepon, sambil menjawab, "Ya".

Awalnya aku memang tidak tahu maksud pesan orang tuaku itu.

Aku baru menggeluti profesi ini sejak di Bali.

Maklum aku baru lulus kuliah pada April 2007.

Setelah lulus kuliah ini, aku belum pernah bekerja.

Profesi ini adalah pekerjaan pertamaku.

Aku pun tidak memiliki pengalaman di profesi ini.

Sekarang aku mengetahui betapa kejamnya dunia terkait profesi ini.

Aku harus bersinggungan dengan banyak orang dari berbagai karakter dan latar belakang.

Bukan hanya orang baik.

Aku pun harus menemui penjahat, dan pekerjaan lain yang dianggap kelam.

Bila perlu, aku harus masuk dalam pekerjaan mereka.

Tentunya aku tidak benar-benar masuk.

Aku hanya perlu masuk sampai permukaan.

Setelah menggali informasi, aku harus kembali keluar.

Selama menjalani profesi ini, aku berusaha tidak bertindak kejam.

Apalagi sampai melacurkan diri atau menggadaikan profesi.

Aku masih memiliki idealisme.

Aku mendambakan bisa bekerja sesuai etika yang digariskan organisasi profesi.

Sekali aku melanggar, hidupku tidak akan pernah tenang.

Bahkan menghadap komputer pun tidak bisa tenang.

Makanya aku sering menolak upaya pihak lain yang berusaha membeli idealismeku.

Aku akan berusaha maksimal.

Biasanya pembeli selalu memaksa.

Tapi aku tetap akan meyakinkan si pembeli bahwa jual-beli ini terlarang.

Cara ini sering efektif.

Si pembeli bisa memahami dan menghargai diriku yang boleh dikatakan sok jual mahal.

Tapi dalam kasus lain, namaku juga sering dijual oleh teman seprofesi.

Aku tidak pernah atau belum bertemu dengan si pembeli.

Tapi temanku itu mengklaim telah mendapat persetujuanku.

Temanku itu mengatasnamakan perwakilan rekan seprofesi saat membuat kesepakat dan harga jual-beli.

Setelah harga disepakati, baru disampaikan ke teman lain.

Aku hanya bisa melonggo mendengar kesepakatan tanpa sepengetahuanku ini.

Temanku berusaha meyakinkan bahwa jual-beli ini tidak berkaitan dengan profesi.

Tapi dalam hati, aku yakin jual-beli berkaitan dengan profesi, baik secara langsung atau tidak langsung.

Aku tidak bisa berbuat banyak.

Aku pun tidak tahu apa yang harus kulakukan.

Bila menyampaikan pelacuran ini ke atasanku, bisa saja suatu saat membongkar pihak yang terlibat dalam kesepakatan.

Dampaknya pun sangat besar.

Aku dan teman-temanku bisa kena imbasnya.

Bila itu terjadi, sama aku mengakhiri ambisi mereka tetap menjalani profesi ini.

Dalam keterpaksaan, aku tetap akan terdiam.

Comments