Suara Sumbang dari Jalanan

Puluhan mahasiswa menggelar demontrasi didepan Balai Kota dan DPRD Kota Malang tadi siang.

Mereka adalah mahasiswa yang bergabung dalam Forum Mahasiswa Peduli Keadilan (Forma PK).

Tuntutannya, menolak pengesahan RUU Pilkada yang mengubah sistem pemilihan kepala daerah di provinsi, kabupaten, dan kota.

Entah sudah keberapa kalinya tuntutan serupa kudengar.

Sejak pemilihan presiden (pilpres) berakhir, wacana ini kembali menghangat.

Koalisi Merah Putih (KMP) yang sempat mengusung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa bertekad mengusung legalisasi pemilihan kepala daerah oleh DPRD.

Sudah banyak yang mengemukakan argumentasinya, baik yang pro RUU maupun yang kontra.

Kalau pendapat ini ditulis, sudah menjadi ribuan paragraf.

Setiap kubu bersikukuh dengan pendapatnya.

Pandangan yang pro sering mengemukakan sisi negatif pemilihan tidak langsung.

Tidak mau ketinggalan, kubu yang kontra mengemukakan sisi negatif pemilihan langsung.

Indonesia sudah tidak asing dengan pemilihan tidak langsung.

Sebelum era reformasi, pemilihan kepala daerah cukup di DPRD.

Begitu pula dengan pemilihan presiden.

Rakyat hanya dilibatkan ketika pemilihan legislatif, baik di DPR pusat maupun di DPRD.

Makanya anggota dewan sering dianggap sebagai wakil rakyat.

Pemilihan kepala daerah melalui wakil rakyat memang lebih efisien.

Proses penghitungan tidak butuh waktu lama dan berjenjang.

Mungkin 30 menit setelah pemilihan, sudah diketahui kepala daerah yang menjadi pemenang.

Bahkan sebelum pemilihan digelar, sudah bisa diprediksikan pemenang pemilihan.

Sedangkan pemilihan langsung butuh proses panjang.

Setelah coblosan berakhir, penghitungan suara harus dilakukan di Tempat Suara (TPS).

Kemudian penghitungan dilanjutkan ke desa/kelurahan, lalu kecamatan, dan berakhir di tingkat kota.

Penghitungan di setiap jenjang rentan terjadi kericuhan.

Apalagi kubu yang sudah diprediksi kalah.

Mereka pasti akan mencari celah untuk mempermasalahkan proses coblosan atau penghitungan.

Indonesia sudah merdeka hampir 70 tahun.

Tapi Indonesia seakan baru belajar sistem Negara.

Selama hampir 70 tahun menjadi negara merdeka, sudah beberapa kali berganti sistem kekuasaan.

UUD 1945 yang sempat menjadi barang sakral sebelum Orde Baru (Orba) tumbang pun diubah.

Alasannya perubahan ini untuk menyesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi.

Banyaknya pemberontakan pada periode sebelumnya menjadi keuntungan bagi politisi.

Sampai sekarang tidak ada yang berani mengubah dasar Negara.

Wakil rakyat di pusat boleh saja mengubah isi UUD 1945.

Tapi dasar negara tetap Pancasila.

Bahkan sampai sekarang belum ada yang berani mengubah isi Pancasila.

Mengubah Pancasila bisa dianggap subversif.

Mengubah kebijakan ada di tangan pemerintah dan legislatif.

Sekarang boleh saja masyarakat mengemukakan pendapatnya menolak RUU Pilkada.

Nantinya belum tentu legislatif mendengar suara dari bawah.

Masih ada waktu sekitar 10 hari untuk menunggu kepastian model pemilihan kepala daerah.

Sebenarnya eksekutif dan legislatif dimanapun tidak berbeda.

Mereka hanya mau mendengar suara masyarakat ketika masih menjadi calon.

Ketika sudah terpilih, terlihat karakter sebenarnya.

Jangankan mendengar suara masyakat, berbaur dengan masyarakat saja bisa dihitung dengan jari.

Ada pula cerita seseorang yang tidak pernah menyapa warga sekitar ketika pulang ke kampung halaman.

Comments