Tentang Narkotika dan Sejenisnya

Selama sepekan ini sering kudengar, kulihat, dan kubaca seputar narkoba dan sejenisnya, mulai pengedar sampai pemakai.

Mulai dari sopir mobil rental sampai wartawan.

Bahkan ada pula polisi yang diduga kuat mengkonsumsi narkotika.

Ternyata narkotika menjadi idola.

Harganya boleh dikatakan sangat murah.

Pil koplo bisa dibeli oleh pelajar.

Ganja pun bisa dibeli yang gajinya dibawah Upah Minimum Regional (UMR).

Mungkin hanya sabu-sabu yang hanya bisa dinikmati kalangan tertentu.

Harganya terbilang sangat mahal bagi kaum awam.

Sejak duduk di bangku SMA, aku sering berkumpul dengan penggila narkoba atau minuman beralkohol.

Aku sering ikut nimbrung saat teman-temanku pesta minuman.

Aku pun ikut mengeluarkan uang saat teman-temanku iuran membeli minuman.

Bahkan tidak jarang aku dipercaya menjadi bandar.

Padahal aku sendiri tidak menengak minuman beralkohol dan sejenisnya.

Aku hanya sekali menengak minuman beralkohol.

Itu pun tanpa sengaja.

Temanku membeli minuman beralkohol dengan dibungkus plastik.

Cara minumannya seperti meminum es teh.

Karena sangat haus, aku berniat minta sedikit.

"Teh hangat," katanya.

Aku pun meminumnya melalui sedotan.

Rasanya agak pahit, dan tidak bisa kumuntahkan karena langsung masuk ke tenggorokan.

Selama bergaul dengan para pecandu, aku mengetahui bahwa barang-barang tersebut mengakibatkan lepas emosi.

Semua gerakan seakan dibawah sadar.

Seorang temanku pernah tidur di pinggir jalan.

Saat bangun, dia mengira sudah tidur di kamarnya.

Narkotika dan sejenisnya sering dianggap bisa melupakan masalah.

Memang saat masih di bawah pengaruh narkotika dan sejenisnya, serasa tidak ada masalah.

Mereka baru menyadari masalahnya belum selesai setelah pengaruhnya narkotikanya habis.

Untuk kembali melupakan masalah itu, mereka kembali mengkonsumsi narkotika.

Sedikit susah berbicara dengan pecandu.

Model apapun tidak akan bisa menyadarkan mereka.

Bahkan proses rehabilitasi sebagai yang dituntut UU pun tidak akan bisa menyembuhkannya.

Mereka hanya bisa sembuh saat menjalani rehabilitasi.

Setelah rehabilitasi selesai, para pecandu bisa kembali mengkonsumsi narkotika.

Lingkungan atau pergaulan dianggap menjadi faktor utama seorang pecandu tidak bisa sembuh.

Teman-teman sesama pecandu pasti akan kembali mengajak mengkonsumsi narkotika.

Mereka beranggapan, para pecandu masih belum sembuh.

Bahkan warga sekitar pun masih meragukan bila seorang pecandu bisa sembuh setelah menjalani rehabilitasi.

Sebenarnya bukan lingkungan atau pergaulan yang menyebabkan seseorang menjadi pecandu.

Seorang kiai bukan tidak mungkin hidup di tengah pecandu.

Terbukti banyak pondok pesantren yang khusus menjadi pusat rehabilitasi bagi pecandu.

Begitu pula, berkumpul dengan pecandu bukan berarti menjadi bagian dari pecandu.

Setiap manusia pasti memiliki pedoman hidup, baik moralitas, agama, norma, dan sebagainya.

Inilah yang bisa menjadi benteng agar tidak terpengaruh menjadi konsumen narkotika.

Tidak ada gunanya mempengaruhi pecandu bila tidak ada kesadaran dari hatinya.

Tekanan dan paksaan pun hanya akan membuat pecandu semakin gencar mengkonsumsi narkotika.

Pecandu hanya bisa didekati dengan hati.

Comments