Ketika Penjaga Hamburkan Peluru
'Peperangan' antara polisi dengan TNI kembali terjadi.
Kali ini terjadi
di Kepulauan Riau (Kepri).
Anggota TNI Batalyon Infantri 134 Tuah Sakti 'perang' dengan anggota Brigade Mobil (Brimob) Kepri.
Empat orang anggota TNI tertembak
di bagian pahanya, dan harus dilarikan ke Rumah Sakit (RS).
Sudah kesekian kalinya tentara terlibat ‘pertempuran’ dengan polisi.
Dua
lembaga ini paling sering adu senjata dibandingkan dengan instansi lainnya.
Memang
dua lembaga inilah yang berwenang menguasai dan menggunakan senjata.
TNI berhak
menguasai dan menggunakan senjata untuk menjaga pertahanan.
Sedangkan polisi diberi
wewenang menguasai dan menggunakan senjata untuk menjaga ketertiban.
Aku dan teman-temanku nongkrong
dengan anggota polisi tadi siang.
Seorang temanku nyeletuk apa sebabnya polisi di
Malang jarang, bahkan tidak pernah, membeber kejahatan anggota TNI.
Sebelumnya,
wartawan menulis anggota TNI yang mencopet pun setelah mendapat bocoran dari orang
dalam.
Itu pun harus ada satu wartawan yang menjadi korban setelah berita
tersebut mencuat di media massa.
“Malang ini dikepung beberapa satuan elit tentara. Bisa dibayangkan bila
polisi digeruduk oleh tentara,” kata seorang polisi.
Aku memang sempat mendengar alasan ini.
Aku hanya mendengar dari
selentingan atau obrolan di warung kopi.
Baru kali ini aku mendengar langsung dari
polisi.
Aku yakin alasan ini bukan alasan kelembagaan.
Keluarnya alasan ini
dari mulut polisi mengindikasikan dugaanku semakin menguat.
Polisi takut dengan
TNI.
Entah karena kalah jumlah atau kalah persenjataan.
Sebagai instansi yang
berwenang menjaga pertahanan, peralatan TNI pasti lebih lengkap dan lebih
canggih.
Sebenarnya dua lembaga ini memiliki musuh berbeda.
Musuh TNI adalah ancaman
dari luar negeri atau dalam negeri yang berpotensi mengkudeta dan mengancam kesatuan
negara.
Sedangkan musuh polisi adalah masyarakat yang berpotensi mengancam dan menganggu
ketentraman masyarakat.
Ketika dua lembaga ini saling adu senjata, masyarakat yang resah.
Polisi
tidak bisa menjaga ketentraman masyarakat karena ketentramannya sendiri
terusik.
TNI pun tidak bisa menjaga pertahanan negara karena harus mengamankan harga
diri dan markasnya sendiri.
Masing-masing sibuk mengurus keamanan lembaganya.
Di tengah konflik seperti ini, masyarakat hanya bisa berdoa agar tidak
ada peluru nyasar.
Masyarakat tidak memiliki senjata sebagaimana yang dimiliki
TNI dan polisi.
Ketika ada peluru nyasar, masyarakat tidak akan bisa membalas.
Maksimal
masyarakat hanya memiliki tombak atau pedang.
Senjata ini tidak bisa menjangkau
jarak jauh.
Makanya masyarakat hanya pasrah ketika ada peluru nyasar di dahi
atau jantungnya.
Sikap yang diambil petinggi TNI atau polisi setelah timbulnya korban
dari masyarakat sipil pun kurang sepadan.
Mungkin penembak hanya dipecat secara
tidak terhormat, ganti rugi kepada korban, atau sebagainya.
Sedangkan korban
harus berjuang agar nyawanya tidak melayang.
Aku lebih setuju tentara atau polisi yang senang
adu senjata dikirim ke negara konflik atau perang.
Mereka bisa melampiaskan senapannya
ke arah musuh.
Kalau mereka bisa pulang dengan selamat, masyarakat pasti akan
mengacungi jempol.
Bila mereka meninggal di medan perang,
masyarakat pasti akan menyanjungnya.
Comments
Post a Comment