Hak yang Semakin Terpangkas
Membuka twitter, facebook, dan status BBM selama dua hari terakhir
isinya hampir sama.
Hanya melihat orang semacam pengamat politik.
Semuanya berkomentar
soal hasil sidang di DPR RI. RUU Pilkada baru saja disahkan.
Dari semua komentar yang kubaca, hanya segelintir yang mendukung
pemilihan di DPRD.
Mayoritas menolak pemilihan kepala daerah di gedung dewan.
Alasannya
pun beragam.
Alasan paling sering kubaca adalah pengebirian hak masyarakat.
Dengan pemilihan di DPRD, masyarakat tidak perlu datang ke TPS.
Aku yakin
masyarakat tidak akan bisa datang ke gedung DPRD saat pemilihan.
Meskipun bisa
datang, masyarakat hanya bisa menunggu di luar gedung.
Areal dalam gedung akan
disterilisasi.
Hanya anggota dewan yang bisa masuk ke dalam gedung, dan memiliki
hak bersuara.
Sebenarnya aku secara pribadi tidak merasa dirugikan dengan pemilihan kepala
daerah di gedung dewan.
Toh selama ini aku tidak pernah menggunakan hak memilih
kepala daerah.
Bahkan memilih RT, RW, atau kepala desa pun aku tidak pernah.
Aku
datang ke TPS hanya sekali, yaitu saat pemilihan legislatif (pileg) pada 1999
lalu.
Aku tidak tahu nantinya akan menggunakan hak memilih lagi atau tidak.
Sampai
sekarang aku belum memiliki angan-angan datang ke TPS.
Aku masih merasa suaraku
tidak akan mampu membuat perubahan di negara atau kota tempat domisiliku.
Saat tahun
1999 lalu misalnya.
Padahal ini adalah pemilihan pertama setelah Reformasi.
Tapi
kemakmuran hanya milik orang yang menguasai anggaran, baik APBN maupun APBD.
Tapi yang aku sayangkan, keputusan pengambil-alihan hak ini merugikan masyarakat
banyak.
Masyarakat tidak bisa mengenal calon kepala daerah pilihannya.
Calon kepala
daerah pun tidak perlu mendatangi pelosok untuk mengenal masyarakat.
Mereka cukup
datang ke rumah anggota DPRD untuk membujuk agar memilihnya dalam pemilihan.
Selama beberapa hari ini, aku sering berbincang dengan warga soal kepemimpinan
Wali Kota Malang, M Anton.
Sebagaimana pemilihan kepala daerah lainnya, Anton juga
dipilih secara langsung oleh masyarakat.
Sebelum atau selama masa kampanye,
Anton sering mendatangi rumah warga.
"Tapi selama menjadi wali kota, dia tidak pernah mendatangi kampung
saya,” kata seorang warga.
Alasan ini bisa memperkuat argumentasi kelompok yang mendukung pemilihan
kepala daerah di DPRD.
Pilkada dianggap memboroskan dana, baik dana APBD maupun
dana pribadi calon.
Kandidat pasti akan memberikan sesuatu kepada masyarakat
yang didatangi.
Entah hanya sarung, uang, atau hanya sekedar janji.
Tapi bukan berarti pemilihan di DPRD tidak butuh biaya mahal.
Setiap kandidat
pasti butuh pendekatan ke anggota DPRD.
Sebagaimana mengunjungi masyarakat, kedatangan
kandidat ke anggota DPRD bukan tanpa pamrih.
Pasti ada saja yang diberikan.
Tentunya porsi pemberian kepada anggota DPRD berbeda dengan porsi yang
diberikan ke masyarakat.
Masyarakat mungkin sudah senang diberi uang sebesar Rp
50.000 atau Rp 100.000.
Tapi memberikan uang senilai Rp 50.000 atau Rp 100.000
kepada anggota dewan pasti akan ditertawakan.
Bila setiap anggota dewan diberi
Rp 10 juta, tinggal dikalikan jumlah suara yang ingin diraih kandidat.
Melihat karakter masyarakat Indonesia, apapun model
pemilihannya pasti butuh biaya banyak.
Tidak ada pemilihan kepala daerah yang bebas
nilai.
Kemungkinan besar, tidak ada kandidat miskin yang bisa menjadi kepala
daerah.
Semua butuh dana besar.
Comments
Post a Comment