Bola itu Laki!!! Versi Warung Kopi
Sejarah sepak bola berasal dari China, dan Jepang.
Lambat laun olah raga
ini merembet ke berbagai benua.
Sepak bola menjadi olah raga paling digemari
pada abad 14.
Olah raga ini identik dengan kekerasan pada abad pertengahan.
Bahkan
beberapa kali pemerintah setempat melarang warga bermain sepak bola.
Sebenarnya sepak bola diciptakan tanpa memandang gender.
Pria atau
wanita sama-sama bisa bermain sepak bola.
Tidak adanya motif gender juga terlihat
dari sepak bola modern.
Federation de Internationale Football Association
(FIFA) pun sudah mengakui sepak bola wanita.
Sebagaimana Piala Dunia bagi pesepak bola
pria, FIFA juga menggulirkan Piala Dunia bagi pesepak bola wanita.
Bukan hanya pada era abad pertengahan atau awal abad modern sepak bola
identik dengan kekerasan.
Bahkan di masa sekarang pun sepak bola masih sering
diwarnai kekerasan.
Olah raga ini digambarkan tidak hanya mengandalkan skill.
Postur
tubuh sering menjadi penentu keberhasilan pesepak bola.
Tentunya pengelola memberikan
rambu-rambu untuk meminimalisir unsur kekerasan.
Populasi wanita memang lebih banyak dibandingkan laki-laki.
Kerasnya selama
permainan menyebabkan sepak bola sering diidentikan dengan laki-laki.
Mayoritas
laki-laki senang atau pernah bermain sepak bola.
Sebaliknya, hanya segelintir
wanita yang pernah bermain sepak bola.
Apalagi yang hobi dan bercita-cita menjadi
pesepak bola, jumlahnya pasti hanya segelintir.
Sebuah produk minuman penambah stamina pernah menjadikan tagline-nya yang mengaitkan sepak bola dengan laki-laki.
Penggunaan tagline ini sangat logis.
Sepak bola
sangat menguras tenaga karena harus selalu bergerak selama 90 menit.
Dengan menenggak
minuman penambah energi tersebut, stamina akan kembali.
Tapi cerita yang kudengar tadi siang di sebuah warung kopi terasa sangat
berbeda.
Lagi-lagi ini masih terkait polisi.
Seorang perwira menengah (pamen)
polisi berbaur dengan para pemuda di warung kopi tersebut.
Pamen tersebut
bercerita tentang seorang temannya.
Tanpa mengungkap identitas temannya, dia
hanya menyebut bahwa temannya adalah laki-laki berpenampilan feminim.
"Bola itu tidak laki. Justru saya yang laki," kata pamen itu.
Semua yang ada di warung kopi itu terdiam.
Aku pun melihatnya sambil terbengong.
Aku berpikir pasti ada yang tidak beres dengan cerita.
Tidak lama kemudian, dia
menjelaskan maksud kalimat yang baru keluar dari bibirnya.
Laki-laki pasti mendominasi saat ada pertandingan sepak bola.
Hanya segelintir
kaum hawa yang datang ke stadion atau lapangan.
Padahal pemain yang bermain sepak
bola juga laki-laki.
Jadi sangat aneh kalau laki-laki melihat laki-laki.
Atau bahasa
ringannya, laki-laki suka laki-laki.
Sebaliknya, teman pamen tersebut menganggap dirinya lebih laki-laki.
Meskipun
penampilannya sangat feminim, tapi orientasi seksualnya masih normal.
Dia selalu
melihat senam balet, atau orang raga wanita lainnya.
Jadi ‘dia lebih normal
dibandingkan kaum adam yang menyaksikan permainan sepak bola di stadion atau
lapangan.
Inilah kehidupan.
Banyak perbedaan terjadi.
Tidak perlu saling
menertawakan.
Nikmati saja hidup ini.
Comments
Post a Comment