Asumsi Dunia Pendidikan

Pendidikan menjadi komoditas paling menjanjikan.

Kementerian Pendidikan termasuk diantara kementerian yang mendapat pasokan paling banyak dari APBN.

Begitu pula Dinas Pendidikan di setiap daerah.

UU mewajibkan pemerintah pusat dan daerah wajib mengalokasikan minimal 20 persen dari total pendapatannya untuk pendidikan.

Hanya sebagaian kecil pemerintah daerah (pemda) yang memenuhi kewajiban ini.

Mayoritas pemda mengalokasikan kas ke sektor pendidikan kurang dari 20 persen.

Tapi distribusi alokasi dana ini masih didominasi untuk belanja pegawai, baik gaji pegawai maupun administrasi.

Sedangkan sebagaian kecil lainnya mengucur untuk operasional pendidikan.

Setiap penduduk yang termasuk dalam usia sekolah wajib mengenyam pendidikan.

Begitulah jargon pemerintah.

Orang tua atau pihak tidak boleh melarang anak usia sekolah mengenyam pendidikan.

Katanya, seluruh biaya pendidikan ditanggung pemerintah.

Artinya orang tua tidak perlu khawatir besarnya biaya pendidikan.

Statemen ini masih hanya dalam coretan kertas.

Beberapa waktu lalu aku sempat datang ke acara pemberian santunan kepada anak jalanan.

Kepala Dinas Pendidikan (Dindik) hadir dalam acara ini.

Sekitar 100 anak jalanan mendapat santunan.

Aku tidak ingat besaran dana yang diberikan kepada anak jalanan.

Seingatku, santunan akan diberikan setiap bulan selama setahun.

Di hadapan orang tua dan anak jalanan, Kepala Dindik mengatakan uang santunan itu untuk membeli kebutuhan sekolah.

Jadi seluruh anak jalanan yang mendapat santunan harus kembali ke bangku sekolah.

Kalau ada yang kesulitan biaya pendidikan, orang tua dapat mendaftarkan anaknya ke sekolah negeri.

Jadi orang tua tidak perlu mengeluarkan biaya bulanan.

Sayangnya misi suci ini tidak bisa terealisasi.

Banyak pihak yang menolak dengan alasan beragam.

Ada yang beralasan pengajuan Dindik saat mendadak sehingga sekolah tidak siap.

Ada pulang yang beralasan tidak ada sekolah yang mau menerima anak jalanan.

"Uang ini akan saya berikan kepada orang tua. Lumayan untuk makan sehari-hari," kata seorang anak jalanan setelah mendapat bantuan.

Anak jalanan yang kutanya itu hanya mengenyam bangku sekolah selama enam tahun.

Orang tuanya pasti sudah memahami susahnya memenuhi kebutuhan sekolah anaknya.

Dengan mengajak anaknya bekerja, sangat membantu perekonomian keluarga.

Sebaliknya, mengembalikan anaknya ke sekolah sama saja dengan menambah beban ekonomi keluarga.

Apalagi sekolah tinggi tidak menjamin kehidupan bakal berubah lebih baik.

“Saya menjadi seperti sekarang ini karena sekolah tinggi. Bayangkan kalau saya hanya sekolah SD atau SMP. Tidak mungkin bisa menjadi seperti sekarang,” kata Kepala Dindik itu di hadapan orang tua anak jalanan.

Masyarakat awam berasumsi sekolah tinggi untuk mencari pekerjaan layak.

Asumsi ini tidak ada salahnya. Perguruan tinggi (PT) membuka fakultas, jurusan, atau program studi sesuai kebutuhan pasar.

PT tidak mungkin membuka fakultas, jurusan, atau program studi yang kurang mendapat perhatian dari pasar.

Semakin tinggi kebutuhan pasar, maka PT akan berlomba-lomba memenuhi kebutuhan itu.

Sayangnya dalam pasar bebas, lulusan perguruan tinggi favorit belum jaminan bisa bersaing.

Bahkan lulusan terbaik pun belum tentu mendapat pekerjaan layak atau sesuai bidang studi kuliahnya.

Aku beberapa kali ngopi dengan teman kuliahku, baik yang satu fakultas atau beda fakultas.

Ada mewarisi usaha dagang orang tuanya, ada yang menjadi tukang kredit, bahkan ada yang masih menganggur.

Salah kaprah memandang pendidikan ini berdampak pada aktivitas pelajar atau mahasiswa.

Mereka sering hanya konsentrasi belajar sesuai bidang pelajaran yang diajarkan di kelas.

Padahal ketika lulus, belum tentu bidang yang dipelajari di kelas dapat berguna.

Masa muda tidak bisa terulang kedua kalinya.

Makanya selama menjadi pemuda, jangan hanya monoton mempelajari pelajaran kelas.

Untuk mengantisipasi sempitnya peluang kerja, tidak ada salahnya mempelajari bidang lain.

Ada sebuah pepatah mengatakan ‘Segala sesuatu bisa menjadi uang asal dikerjakan dengan sungguh-sungguh’.

Comments