Aku Bukan Bapakku, Tapi…
Cerita ini masih hampir sama dengan cerita kemarin.
Masih terkait dengan
polisi.
Pangkatnya masih sama, yaitu perwira pertama (pama).
Tapi orang yang
kuceritakan kali ini berbeda dengan cerita kemarin.
Usianya pun terpaut jauh.
Bila
diibaratkan, orang dalam cerita kemarin adalah bapaknya.
Sedangkan orang dalam
cerita sekarang adalah anaknya.
Tapi dua orang ini tidak ada ikatan family sama
sekali.
Usianya masih sangat muda.
Mungkin dia masih di bawahku sekitar tujuh
atau delapan tahun.
Bapak kandungnya seorang ternama di negeri ini.
Bukan
pejabat, tapi figur publik.
Setiap orang pasti mengenal bapaknya.
Tapi aku
tidak mau menyebutkan nama bapaknya.
Kalau aku menyebut namanya, pembaca
akan mudah menebak.
Tadi siang aku datang ke satuan polres di Malang Raya.
Tidak lama
setelah aku memarkir motor, pama tersebut datang.
Dia langsung berbaur dengan teman-temanku.
Mayoritas rekan-rekanku tidak mengetahui bila bapak pama tersebut seorang figur publik.
Sambil tertawa, aku sempat mengatakan bahwa pama tersebut anak seorang
figur publik.
"Itu tidak ada kaitannya. Saya adalah saya, dan bapak saya adalah bapak
saya," katanya.
Aku sudah mengenalnya sejak lama.
Saat dia pertama kali menginjakan kaki
di Malang, aku sudah mengenalnya.
Meskipun tidak akrab, aku sudah mengetahui
bahwa pama tersebut anak seorang figur publik.
Sebagaimana dialog tadi siang,
dia pun menegaskan tidak berkaitan dengan bapaknya.
Dia bercerita saat menghadiri acara bersama pejabat pemerintah daerah
(pemda) beberapa waktu lalu.
Seorang pejabat pemda tersebut mendekatinya.
Sambil
mengulurkan tangan, pejabat itu langsung menyebut nama bapak dari sang pama.
Dia
memang membalas mengulurkan tangan.
Tapi setelah berjabat tangan, dia langsung
meninggalkan pejabat tersebut.
Boleh saja dia mengklaim bahwa posisinya sekarang tidak berkaitan dengan
nama besar bapaknya.
Tapi instansi pemerintah sarat nepotisme sudah sering
terdengar.
Bahkan saat nongkrong di
markas militer beberapa hari lalu, aku sempat mendengar adanya nepotisme.
Seorang
tentara sempat mengatakan "Keponakan saya ikut saya".
Bukan hanya sekali aku mendengar unsur nepotisme selama nongkrong di markas militer tersebut.
Seorang
militer lainnya mengatakan anaknya sempat ikut tes maskai penerbangan. Diterima.
Saat akan masuk kerja di hari pertama, ada pendaftaran di kepolisian. Juga diterima.
Akhirnya anak militer itu memilih kepolisian.
Dulu keluargaku sempat bercita-cita menjadi anggota militer.
Pendaftaran
pertama, gagal.
Pendaftaran kedua, juga gagal.
Saat pendaftaran ketiga dibuka, dia
enggan kembali mendaftar.
Dia memilih bekerja di perusahaan swasta.
Dia juga
melanjutkan mengenyam pendidikan sambil bekerja.
Memang sulit membuktikan membuktikan unsur nepotisme dalam pendaftaran
di instansi pemerintah.
Adanya nepotisme dapat diketahui dari kaitan
kekeluargaan atau pertemanan.
Seseorang yang tidak memiliki kenalan atau
anggota keluarga di instasi pemerintah pasti sulit menjadi abdi negara.
Orang tuaku beberapa kali mendorongku agar mencoba mendaftar menjadi abdi
negara.
Adik dan kakakku pun didorong agar menjadi abdi negara.
Kakakku sudah
tidak memenuhi syarat menjadi abdi negara karena usianya sudah melebihi batas
yang ditentukan.
Hanya tinggal aku dan adikku yang masih memenuhi syarat.
Aku sudah bertekad tidak akan menjadi abdi negara.
Adikku masih berusaha
bekerja di instansi pemerintah.
Setiap ada pendaftaran, dia selalu mencoba.
Bahkan
dia rela mondar-madir Sidoarjo-Surabaya untuk mengurus administrasi yang
dibutuhkan.
Jarak Sidoarjo-Surabaya memang sangat dekat.
Mungkin hanya sekitar
sejam.
Bila perjalanan ini ditempuh sepekan dua kali, pasti sangat melelahkan.
Aku selalu mendukung adikku mewujudkan mimpinya.
Apapun yang diinginkan,
aku berharap semoga bisa terwujud.
Tapi dalam hati, aku selalu berpikir kira-kira
adikku bisa mewujudkan mimpinya atau tidak.
Bukannya aku meragukan kemampuan pengetahuan
adikku.
Dia sudah mengajar sekitar tiga atau empat tahun lalu.
Jadi dia sangat
berpengalaman mengajar.
Tapi keluargaku tidak memiliki link
ke pejabat pengambil keputusan.
Keluargaku
sejak dulu adalah rakyat biasa yang tidak neko-neko.
Apalagi bapakku yang berasal dari desa.
Sedangkan ibuku lebih sering berkumpul
dengan para ulama.
Keluargaku pun tidak akan mau bermain di balik meja.
Apapun tantangannya, aku selalu berdoa adikku
bisa mewujudkan impiannya.
Comments
Post a Comment