Terasa Asing dengan Budaya Sendiri

Rumah Batik Blimbing Malang kedatangan tamu pada Jumat (29/8/2014).

Tamu itu adalah delapan mahasiswa dari lima negara.

Mereka datang di bawah bendera Association Internationale des Etudiants en Sciences Economiques et Commerciales (AIESEC).

Kedatangannya untuk belajar budaya Indonesia, di antaranya batik.

Wajah tujuh mahasiswa itu sesuai dengan negaranya, yaitu Taiwan, Polandia, Jerman, dan Tunisia.


Hanya satu orang yang terlihat berbeda, yaitu mahasiswa asal Malaysia.

Delegasi asal Malaysia bukanlah orang Melayu, tapi keturunan Cina.

Wajahnya khas ras kulit kuning.

Secara sepintas tidak berbeda dengan delegasi asal Taiwan.

Delapan mahasiswa ini sangat senang belajar batik.

Saat aku datang ke Rumah Batik Blimbing Malang, sebagaian mahasiswa sedang menyelesaikan batiknya.

Sebagaian lainnya sedang mengobrol bersama teman-temannya.

Mereka menunggu lukisan batiknya kering.

Beberapa kali mereka ke jemuran untuk memastikan lukisan batiknya sudah kering atau belum.

Mereka sangat senang bisa membatik.

Bahkan mahasiswa asal Malaysia pun sangat senang.

Baru pertama kali dia memegang peralatan batik.

Padahal Malaysia sudah tidak asing dengan batik.

Pemerintah Malaysia sempat mengklaim kepemilikan batik pada 2009 lalu.

Sengketa kepemilikan batik baru reda setelah United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) mengakui batik Indonesia.

Terlepas dari saling klaim batik, aku kagum pada rasa senang delapan mahasiswa itu bisa membatik.

Mereka seakan pamer hasil karyanya, baik kepada rekan-rekannya, instruktur, maupun kepada wartawan.

Padahal melihat hasil lukisannya masih jauh dari sempurna.

Tapi rasa bangga ini yang tidak dimiliki oleh orang Indonesia selaku pemegang hak atas batik.


Jumlah penduduk Indonesia sekitar 200 juta jiwa.

Dari ratusan juta orang ini, hanya segelintir orang yang bisa membatik.

Aku yakin mayoritas penduduk Indonesia tidak pernah melihat atau memegang peralatan batik.

Bahkan aku yang sudah 33 tahun menjadi penduduk Indonesia, baru kali ini melihat alat batik.

Tapi aku masih belum pernah memegangnya.

Batik sudah identik dengan Indonesia.

Beberapa tamu negara mengenakan batik setiap berkunjung ke Indonesia.

Almarhum Nelson Rolihlahla Mandela (1918-2013), dan William Jefferson ‘Bill’ Clinton di antara tamu negara yang identik dengan batik saat berkunjung ke Indonesia.

Pemerintah pun berupaya membumikan batik.

Sekolah, atau instansi pemerintah pasti ada jadwal mengenakan seragam batik.

Siswa atau anggota instansi yang tidak mengenakan batik sesuai jadwal yang ditetapkan dianggap pelanggaran.

Pelanggaran ini bisa membuahkan sanksi, minimal sanksi teguran.

Sayangnya langkah pemerintah ini hanya mendapat dukungan dari sebagaian kecil warganya, terutama kalangan muda.

Batik masih menjadi idola kaum tua.

Itu pun biasanya dikenakan saat ada acara tertentu, seperti tahlilan atau acara resmi lainnya.

Sedangkan kaum muda memilih ikut trend dengan mengenakan kaus.

Bahkan kaum muda lebih senang kaus buatan luar negeri dibandingkan dalam negeri.

Bukan hanya batik yang kurang mendapat perhatian dari kaum muda.


Mayoritas budaya Indonesia kurang mendapat perhatian dari kaum muda.

Siang tadi aku membaca berita hasil liputan temanku.

Ternyata budaya K-Pop lebih dikenal di Indonesia daripada di Korea sendiri.

Anak muda lebih mudah mengenal budaya luar daripada budaya sendiri.

Rasa nasionalisme baru muncul ketika ada negara lain yang mengklaim budaya Indonesia.

Comments