Kendaraan Itu Milik Siapa?
Tunggangan menjadi identitas seseorang untuk menunjukan strata
sosialnya.
Semakin kaya seseorang, maka tunggangannya semakin mewah.
Kuda atau unta
menjadi tunggangan mewah sebelum era modern.
Tapi setelah era modern, tunggangan
yang menunjukan strata sosial berupa kendaraan bermotor.
Orang kaya baru (OKB) memanfaatkan kendaraan sesuai kebutuhan.
Mereka
menganggap kendaraan bagian tak terpisahkan dari kebutuhan.
Mereka membeli mobil
karena memang butuh untuk memudahkan aktivitas, seperti berangkat kerja, shopping, dan sebagainya.
Biasanya mereka membeli kendaraan sesuai jumlah anggota keluarga.
Bila
di dalam rumah itu ada empat orang, satu mobil sudah cukup.
Mungkin ada kendaraan
lain, seperti motor atau sepeda.
Kendaraan tambahan ini hanya untuk insidentil.
Seperti bila suatu saat anggota keluarga memiliki jadwal berbeda
dalam waktu bersamaan.
Tapi orang kaya tidak hanya menganggap kendaraan sebagai sarana untuk memudahkan
aktivitas.
Kendaraan dianggap sebagai bagian dari barang koleksi.
Biasanya
kendaraan yang digunakan koleksi tidak mudah dibeli, produknya terbatas, atau
harganya yang sangat mahal.
Berbeda dengan kendaraan untuk aktivitas, kendaraan
seperti ini hanya untuk pajangan.
Kendaraan ini baru keluar dari gudang ketika ada event.
Banyak pula
orang kaya seperti ini membentuk komunitas sesama penggemar produk tersebut.
Sebagaimana
komunitas lain, mereka sering menggelar pertemuan rutin.
Tentunya kendaraan tersebut
dibawa saat ada pertemuan rutin.
Atau bisa saja kendaraan tersebut keluar dari gudang
sesuai agenda komunitas.
Bukan berarti hanya orang kaya yang bisa memiliki kendaraan tertentu.
Kendaraan
Unimog, misalnya.
Kedaraan ini biasa digunakan kalangan militer.
Profesi lain
yang perlu melakoni perjalanan di medan penuh tanjakan pun biasa menggunakan
kendaraan ini.
Artinya kendaraan seperti ini dimiliki organisasi, lembaga, atau
instansi.
Kendaraannya pun mewakili organisasi, lembaga, atau instansinya.
Tentunya kendaraan itu digunakan untuk keperluan organisasi lembaga, atau
instansinya.
Tapi pemadangan yang kulihat tadi sore sangat berbeda.
Empat truk jumbo
melintas di sekitar Lapangan Rampal, Kota Malang.
Kondisi lalu lintas macet, meskipun tidak terlalu padat.
Tiba-tiba terdengar suara suara sirene.
Awalnya aku mengira ada ambulans atau pengawalan.
Ternyata empat truk milik
militer yang elintas.
Empat truk ini berjalan beriringan.
Melihat kondisi jalan sedang macet, pengendaranya
tidak mengurangi kecepatan.
Sambil terus menyalakan sirene, empat truk itu
terus menambah kecepatan.
Mobil dari arah berlawanan terpaksa menepi.
Pemilik mobil
tentu tidak mau kendaraannya menjadi korban tabrakan.
Saat tiba di traffic light,
lampu sedang menyala merah.
Empat truk itu bukannya mengurangi kecepatan dan
menghentikan sirene.
Justru suara sirene semakin dikencangkan, dan TL pun
diterobos.
Beberapa pengendara motor sempat ingin ‘menempel’ di belakangnya.
Tapi
pegendara motor berhenti sebelum TL.
Sedangkan empat truk itu tetap melanjutkan
perjalanan dengan kecepatan tinggi.
Aku sempat melihat bagian belakang truk atau di bak truk.
Tidak ada satu
pun penumpang.
Biasanya truk militer yang melaju dengan kecepataan tinggi pasti
ada penumpangnya.
Entah mereka baru pulang atau akan berangkat latihan.
Jadi
sangat wajar bila mereka harus tiba di lokasi tepat waktu.
Bila tidak ada penumpangnya, apa tujuan sopir empat truk itu melaju
dengan kecepatan tinggi?
Arogansi seperti inilah yang dibenci masyarakat.
Masyarakat menganggap anggota
militer selalu arogan.
Militer hanya mendekati masyarakat ketika memiliki
kebutuhan.
Tidak mengherankan masyarakat kurang peduli kepada militer.
Bahkan
ketika ada pertengkaran yang melibatkan warga sipil dengan militer, masyarakat
pasti akan membela warga sipil.
Waga tidak akan mau tahu siapa yang salah, dan
siapa yang benar.
Warga pasti menganggap pertengkaran itu dipicu arogansi
militer.
Selama ini militer sering menganggap perlunya persatuan antara warga
dengan militer.
Tapi militer seakan mengungkung dirinya di dalam barak.
Warga
harus lapor bila ingin masuk ke kawasan militer.
Sebaliknya, militer bisa
seenaknya masuk perkampungan.
Masih ingat Tragedi Tanjung Priok pada 1984
silam?
Tragedi ini juga akibat ulah militer yang tidak memiliki sopan santun.
Atau
kasus pemukulan fotografer di Riau oleh anggota Angkatan Udara (AU).
Tanpa
bertanya profesi atau identitas sang fotografer, anggota TNI langsung main
pukul.
Kaum militer boleh saja mengklaim mental mereka berbeda dengan saat
masih di bawah rezim Orde Baru (Orba).
Tapi fakta tetap menunjukan bahwa mental
mereka tidak berubah.
Yang berubah hanya pemerintahan sipil.
Militer tetap hanya
menjadi bagian dari kehidupan barak.
Aku teringat cerita tentang seorang militer beberapa tahun silam.
Aku
pernah memiliki teman seorang militer.
Dia sangat bangga ketika bercerita soal
tugasnya di Aceh atau Papua.
Selain itu, gaya bicaranya selalu ‘ambil atas’.
Artinya, dia selalu menganggap orang lain lebih rendah atau kecil daripada
dirinya.
Tapi aku sempat mendengar cerita dari rekannya sesama militer.
Ternyata arogansinya
tidak sebanding dengan saat bertugas di Aceh maupun Papua.
Menurut temannya,
orang itu haya menghabiskan waktunya di barak atau tenda.
Apalagi ketika
terdengar suara senapan, dia menjadi orang nomor satu yang masuk tenda atau
barak.
Seharusnya para anggota militer sadar sebagai manusia.
Manusia pasti
memiliki rasa takut.
Entah takut kepada sesama, atasan, atau Tuhan.
Tidak perlu
berlagak berjalan dihadapan manusia lain.
Apalagi militer adalah orang miskin.
Semua yang digunakan dan manfaatkan milik negara.
Anggota militer baru bisa memiliki
diri dan keluarganya setelah pensiun.
Saat itu pula anggota militer merasa
tidak memiliki apa-apa lagi.
Comments
Post a Comment