Di Tengah Kepungan Garis Keras

Sudah hampir sebulan ini Indonesia dihantui berdirinya khilafah di bawah Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS).

Sebagaimana namanya, gerakan ini berbasis di Irak dan Syiria.

Beberapa negara di Timur Tengah yang berdekatan dengan Iraq dan Syiria paling dihantui menyebarnya gerakan Islam politik garis keras ini.

Beberapa kelompok di Indonesia dikaitkan dengan gerakan pimpinan Abu Bakr Al Baghdadi.

Foto pimpinan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Abu Bakar Ba’asyir pernah membaiat beberapa narapidana di Lembaga Permasyarakatan (LP) Nusakambangan.

Belakangan diketahui pembaitan ini karena Ba’asyir dibawah tekanan.

Di Malang juga dihantui menyebarnya faham ini.

Sebuah kelompok dikabarkan sempat mendeklarasikan dan melakukan pembaiatan di sebuah masjid di Desa Dau, Kabupaten Malang.

Musyarah Pimpinan Daerah (Muspida) Kabupaten Malang pun berusaha menanggulangi gerakan.

Begitu pula Pemprov Jatim mengisntruksikan seluruh pemerintah daerah (Pemda) mengantisipasi gerakan Islam garis keras di daerahnya.

Masih segar dalam ingatan warga Indonesia menjelang pemilihan presiden (pilpres) 2014 lalu.

Isu Partai Komunis Indonesia (PKI) mengemuka.

Isu ini sengaja diangkat untuk menjatuhkan salah satu kandidat.

Sampai pilpres berakhir, isu ini masih terus menjadi pembahasan.

Padahal televisi nasional yang menggulirkan isu ini sudah minta maaf dan mengklarifikasi pemberitaannya.

Sebagaimana ISIS dan gerakan Islam politik garis keras lainnya, PKI juga menjadi momok menakutkan bagi warga Indonesia.

PKI dikabarkan berniat mengkudeta dan mengganti dasar negara Indonesia pada 1965.

Sejak bergulirnya reformasi 1998 lalu, isu ini mulai dipertanyakan.

Tapi mayoritas masyarakat masih khawatir PKI kembali bercokol di Indonesia.

Apalagi Ketetapan MPRS XXV/1966 tentang larangan Komunisme/Marxisme-Leninisme masih belum dicabut.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan komunisme, Islam, khilafah, dan gerakan politik lainnya.

Latar belakang munculnya gerakan politik ini beragam.

Ada yang mengklaim karena kebutuhan masyarakat.

Ada pula yang mengklaim sistem politik yang berlaku sekarang tidak sesuai atau melenceng dari cita-cita awal. Dan sebagainya.

Intinya semua gerakan politik pasti ingin menjadi penguasa dan menerapkan keyakinan politiknya.

Tanpa adanya cita-cita menjadi penguasa, ideologi bagaikan buku yang tidak pernah terbaca.

Lambat laun ideologi seperti ini akan lapuk tergerus masa dan musnah.

Ambisi menerapkan ideologi hanya milik elit politik.

Makanya berbagai acara akan dilakukan demi merealisasikan ideologi ini.

Dalam catatan sejarah, beragam cara dilakukan elit politik untuk menggenggam kekuasaan.

Ada yang melalui sistem politik, kekerasan/peperangan, atau lobi.

Tapi masyarakat tidak pernah peduli dengan ideologi.

Masyarakat tidak pernah tahu apa yang dimaksud komunisme, Islam politik, dan sebagainya.

Masyarakat pun tidak pernah peduli penguasa membangun Negara berdasar ideologi tertentu.

Masyarakat hanya ingin tahu bagaimana pemerintah memberikan harga sembako murah, pendidik berkualitas dan murah, kesehatan terjamin, dan sebagainya.

Tanpa adanya larangan dari pemerintah, masyarakat pasti akan menolak faham ISIS atau komunisme.

Meskipun masyarakat tidak tahu esensi komunisme atau ISIS.

Masyarakat hanya mengetahui bahwa kedua ideologi sama-sama menerapkan kekerasan untuk menggapai kekuasaan.

Masyarakat pasti tidak mau bersinggungan dengan kekerasan.

Apalagi masyarakat Indonesia sudah beberapa kali menjadi korban kekerasan akibat ketegangan elit politik.

Seandainya tidak pernah mendengar kabar kekerasan ISIS atau komunisme, saya yakin masyarakat bisa menerimanya.

Tapi penerimaan ini belum tentu sebagai dukungan politik.

Kadang penerimaan masyarakat hanya dalam bentuk pemberian akses faham atau organisasi tersebut berkembang.

Comments