Aku Iri Pada Mereka

Aku tidak memiliki agenda untuk mengisi hari libur hari ini.

Aku hanya perlu servis motor dan mengganti oli.

Aku terakhir mengganti oli pada akhir Juli 2014 atau menjelang Lebaran.

Biasanya aku memang mengganti oli sebulan sekali.

Setelah mengganti oli, aku berkata kepada keluargaku.

"Setelah ini ayo ke mal di Kota Malang," kataku.

Keluargaku setuju.

Aku tidak betah berdiam diri di rumah selama libur.

Bila hanya di rumah, aku pasti akan menghabiskan waktu untuk tidur.

Akibatnya aku tidak bisa tidur pada malam hari.

Padahal aku harus bekerja pada keesokan harinya.

Makanya aku selalu berusaha bermain ke tempat hiburan setiap libur.

Atau minimal aku harus keluar rumah, baik ke rumah saudara atau mencari aktivitas lain.

Jadi aku tidak perlu tidur siang, dan bisa tidur normal pada malam harinya.

Mall itu memang menjadi tempat hiburan favorit anakku.

Anakku paling suka bermain di tempat mainan anak di Matos.

Biasanya aku mengajak anakku bermain di Matos setiap libur.

Hanya sesekali aku mengajaknya ke pemandian atau tempat hiburan lainnya.

Tapi aku harus berpikir ulang mengajak anakku bermain ke Matos.

Aku harus mengeluarkan biaya Rp 25.000.

Aku tidak mempermasalahkan besaran uang yang keluar dari dompet.

Aku yakin anakku tidak akan puas bermain selama 30 menit.

Biasanya dia merengkek minta melanjutkan bermain setelah waktunya habis.

Sebelum berangkat ke Kota Malang, aku menawarkan tempat bermain alternatif.

"Kita ke Taman Merbabu saja. Di situ juga ada tempat bermain anak," kataku.

Keluargaku pun sepakat.

Awalnya anakku canggung bermain sendiri.

Dia merengek minta ditemani.

Aku berusaha membujuknya agar bermain dengan anak sebayanya.

Biasanya anak kecil bisa langsung akrab di tempat permainan.

Aku hanya sebentar menemaninya.

Setelah dia bisa beradaptasi, aku meninggalkannya.

Aku duduk di pinggir taman sambil mengawasi anakku.

Sesekali dia melihat ke arahku.

Mungkin dia hanya ingin memastikan aku tidak meninggalkannya.

Setelah puas bermain di Taman Merbabu, aku mengajaknya ke Taman Trunojoyo.

Sebagaimana di Taman Merbabu, Taman Trunojoyo juga ada permainan anaknya.

Bahkan di Taman Trunojoyo juga ada air mancur.

Anak kecil bisa mandi di air mancur ini.

Mandi di air mancur inilah yang kugunakan untuk membujuk anakku.

Dia memang antusias ke Taman Merbabu.

Tidak lama setelah melihat air mancurnya, dia tidak sabar untuk mandi.

Dia tidak canggung atau merengek minta ditemani.

Dia mau mandi sendiri.

Tentunya aku tetap mengawasinya dari pinggir air mancur.

Dia langsung menemukan teman selama bermain ini.

Aku tidak mengetahui asal pengunjung Taman Merbabu atau Taman Trunojoyo.

Aku yakin ada pengunjung yang berasal dari Kabupaten Malang sisi utara, barat, atau timur sebagaimana diriku.

Kabupaten Malang memang memiliki tempat wisata atau tempat bermain anak, seperti Wendit, Sengkaling, dan beberapa pantai di Kabupaten Malang sisi selatan.

Tapi pengunjung harus mengeluarkan uang cukup banyak.

Ini berbeda dengan pengunjung di Taman Merbabu atau Taman Trunojoyo.

Aku hanya mengeluarkan uang Rp 2.000 untuk parkir.

Pengeluaran lain hanya untuk membeli makanan atau minuman.

Warga sangat butuh sarana hiburan.

Sarana hiburan ini tidak perlu mewah.

Warga hanya butuh sarana hiburan yang bisa menghilangkan kepenatan setelah beraktivitas selama enam hari di tempat kerja.

Bila berkunjung ke tempat wisata atau tempat bermain anak berbayar, aku yakin rasa penatnya semakin bertambah.

Uang yang seharusnya bisa ditabung atau kebutuhan lain malah digunakan untuk hiburan sehari.

Aku memang baru empat tahun menjadi warga Kabupaten Malang.

Tapi aku sudah iri kepada warga Kota Malang atau Kota Batu.

Bukan hanya soal tersedianya fasilitas hiburan gratis.

Warga Kota Malang dan Kota Batu sangat mudah mengurus administrasi kependudukan.

Bandingkan dengan aku yang harus mondar-mandir dari Kecamatan Singosari ke Kecamatan Kepanjen.

Butuh waktu sekitar sejam hanya untuk berangkat.

Dulu saat mengurus akte kelahiran anakku, aku harus bolak-balik Singosari-Kepanjen.

Aku tidak bisa membayangkan susahnya warga Pujon atau Kesamben yang ingin mengurus administrasi kependudukan.

Memang mengurus administrasi kependudukan tidak setiap hari.

Tapi warga butuh mengurus administrasi kependudukan.

Bila tidak mengurusnya, pemerintah daerah (pemda) pasti menganggap warga kurang sadar administrasi kependudukan.

Padahal pemda sendiri yang tidak memberikan kemudahan mekanisme mengurus administrasi kependudukan.

Aku membayangkan seandainya warga tidak perlu menempuh perjalanan jauh untuk mengurus administrasi kependudukan.

Warga cukup datang ke kantor desa atau kantor kecamatan.

Bila ada warga yang belum mengurus administrasi kependudukan, cukup pegawai kantor desa atau kecamatan yang mendorongnya.

Pegawai pemda pun tidak perlu risau menghadapi warga yang belum mengurus administrasi kependudukan.

Tapi itu tergantung sikap dari pemda.

Warga hanya bisa membahasnya di warung kopi.

Selama pemda tidak pernah merealisasikannya, warga hanya memiliki mimpi.

Comments