Pemilihan presiden (pilpres) 2014 masih berlangsung.
Aku
menyempatkan singgah di rumah seorang petinggi Pemkot Malang.
Hanya ingin ngobrol.
Aku sendiri tidak tahu apa yang
akan dan perlu diomongkan.
Aku tidak memiliki ide apapun.
Di sela perbincangan, dia menyempatkan diri menyinggung
sejumlah kasus yang diduga ada indikasi korupsi di Kota Malang.
Di antaranya RS
Umum Daerah (RSUD), dan Jembatan Kedungkandang.
Dia tidak cerita banyak soal kasus
korupsi ini.
“Untuk sementara saya tutup. Minimal selama setahun
ini,” katanya.
Aku tidak tahu maksud kata ‘tutup sementara’ ini.
Bisa
jadi kasusnya dihentikan sementara. Atau dana untuk dua proyek itu sementara dihentikan.
Aku juga tidak bertanya lebih panjang maksud kata ini.
Dalam hati aku sudah memahami
maksudnya.
Dia mengaku sengaja menutup sementara beberapa dugaan
korupsi di Kota Malang.
Dikhawatirkan kasus korupsi akan mengubah suasana politik
di Kota Malang tidak kondusif.
Sebagai petinggi di Kota Malang, dia
bertanggung jawab terhadap keamanan dan ketertiban.
Dia tidak ingin mendapat
pekerjaan tambahan akibat pilpres tahun ini.
Apalagi dia belum lama dipercaya
menduduki jabatannya sekarang.
Tahun ini ada dua
event pemilu, yaitu legislatif dan presiden.
Tensi politik tahun ini lebih
tinggi dibandingkan lima tahun sebelumnya.
Tingginya tensi politik nasional tidak
berdampak langsung di Kota Malang.
Beberapa waktu lalu, sejumlah daerah sibuk menyelesaikan kasus Obor
Rakyat, Sapujagat, black campaign,
dan sebagainya.
Tapi, masalah ini hanya
jadi perbincangan biasa di Kota Malang.
Tahapan pilpres memang hanya menyisakan penghitungan perolehan
suara.
Justru ini yang paling rawan.
Tindak kekerasan disertai perampasan form
C1 terjadi di Bima.
Kantor Jaringan Suara Indonesia (JSI) dilempar molotov.
Kemungkinan
masih banyak aksi kekerasan yang akan terjadi.
KPU pusat baru merekapitulasi
suara nasional pada 22 Juli 2014 nanti.
Tensi tinggi masih belum terlihat di Malang setelah dua
hari pelaksanaan pilpres.
Tapi tidak menutup kemungkinan tensi tinggi akan
terjadi.
Sampai sekarang masing-masing kandidat mengklaim menang berdasar penghitungan
cepat.
Selisih perolehan suaranya pun sangat tipis.
Hanya kurang dari 10 persen.
“Chaos akan mendewasakan
masyarakat, dan langkah menuju bangsa yang lebih baik,” kata seorang kawan.
Pernyataan ini ada benarnya.
Biasanya orang yang
dipercaya menjadi pemimpin pada era transisi cenderung hati-hati mengambil
sikap.
Tapi bukan berarti pemimpin di masa transisi lebih baik dibandingkan era
sebelumnya.
Pemimpin transisi di beberapa negara malah menerapkan darurat atau pemerintahan
dibawah kendali militer.
Ironinya pemerintahan di bawah militer berlangsung
sangat lama.
Bukannya tidak setuju dengan pemerintahan di bawah
kendali militer.
Menurutku, pemerintahan di bawah kendali militer hanya mementingkan
stabilitas nasional.
Stabilitas nasional versi militer biasanya disertai
pengekangan hak-hak sipil dan demokrasi.
Masyarakat pasti akan dirugikan.
Apalagi
bila darurat militer ini disertai control terhadap media massa.
Aku hanya berharap ketakutan ini tidak sampai terjadi.
Comments
Post a Comment