Kesalahan Tiada Akhir

Dalam perbincangan dengan wartawan usai latihan, pelatih Persebaya Surabaya, Rahmad Darmawan (RD) sempat bercerita soal instruksi kepada para pemainnya.

Saat itu RD masih menjadi pelatih Arema Cronus.

Kira-kira begini ucapannya. “Saya minta anak-anak tidak mudah terprovokasi terhadap pelanggaran pemain lawan. Di lapangan ada wasit."

"Kalau menjadi korban pelanggaran dan wasit tidak meniup peluit (tanda terjadinya pelanggaran), jangan berhenti mengejar bola. Sikap ini memudahkan lawan menguasai jalannya pertandingan.”

Bukan berarti pengadil lapangan tidak bisa salah.

Tapi yang perlu dicatat, sudah ada komite wasit yang memberi penilaian terhadap kinerja wasit.

Seluruh penonton pun akan mengetahui bila wasit berpihak kepada tim tertentu atau netral.

Apalagi bila pertandingan tersebut tayang live.

Penikmat sepakbola se-Indonesia pasti akan mengetahuinya.

Begitu pula dengan pemilihan presiden (pilpres) 2014.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pilpres.

Badan Pengawas Pemilu (Bapilu) sebagai pengawas pilpres.

Juga ada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ikut memantau pelaksanaan pilpres.

Beberapa kelompok masyarakat lain pun secara aktif bisa bertindak sebagai pengawas pilpres.

Pilpres tahun ini sangat berbeda.

Para kandidat dan tim suksesnya sibuk mencari kesalahan pihak lain.

Kesalahan kandidat lain diungkap, mulai kasus HAM sampai dugaan korupsi Trans-Jakarta.

KPU dan Bapilu pun tidak lepas dari tudingan tidak netral.

Bahkan masyarakat pun diklaim mudah ‘dibeli’ demi kemenangan salah satu kandidat.

Inti dari pilpres kali ini adalah munculnya kesalahan pihak lain.

Warga yang semula tidak tahu kesalahan pihak lain, bisa mengetahuinya selama tahapan pilpres.

Bahkan setelah tahapan pilpres berakhir, kampanye mengumumkan kesalahan pihak lain masih berlangsung.

Muncul klaim bahwa hanya pihaknya yang paling benar.

Sebagai warga yang sudah 15 tahun memiliki hak politik, aku tidak pernah merasakan dampak langsung pelaksanaan event politik.

Presiden atau pemangku jabatan politik lainnya tidak pernah peduli dengan nasibku.

Saat aku dan teman-temanku memperjuangkan upah layak, presiden sampai wali kota/bupati tidak mendesak perusahaanku untuk memenuhinya.

Aku teringat saat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar mempublikasikan upah layak jurnalis pada 2009 lalu.

Saat itu AJI Denpasar menetapkan upah layak jurnalis lebih dari Rp 3 juta per bulan.

Sejumlah pejabat Pemkot Denpasar dan Pemprov Bali hadir dalam rilis upah layak itu.

Tapi publikasi ini seakan tidak ada gaungnya, kecuali hanya muncul di media massa.

Pemilik atau pengambil kebijakan di perusahaan media tidak hadir dalam rilis ini. 

Aku kira kasus seperti ini tidak hanya terjadi di Denpasar.

Seringkali karyawan diabaikan saat memperjuangkan hak-nya.

Karyawan atau buruh baru dibutuhkan saat menjelang event demokrasi, baik di tingkat kabupaten/kota maupun nasional.

Makanya warga enggan datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk menggunakan hak pilihnya.

Tapi sebagaian warga masih ada yang percaya bahwa suaranya bisa mengubah nasib bangsa dan dirinya.

Mereka rela datang ke TPS dan memberikan suaranya untuk kandidat pilihannya.

Politik tak ubahnya seperti seni untuk berbuat atau mencari kesalahan.

Apapun dan siapapun bisa disalahkan demi meraih kekuasaan.

Setelah KPU menetapkan pemenang pilpres, upaya pencarian kesalahan akan terus dilakukan.

Pihak yang kalah berusaha mencari kesalahan pemenang.

Pemenang pun berusaha membela diri dan tidak lupa mencari kesalahan pihak lain.

"Hasil perhitungan KPU belum inkrah karena masih cukup banyak kejadian signifikan telah menodai proses penyelenggaran pilpres, mulai dari masa kampanye, minggu tenang, 9-22 Juli 2014 yang tidak dituntaskan KPU dan Bawaslu."

"Pantas saja rakyat tidak puas proses dan hasil seperti ini sehingga yang diharapkan Mahkamah Agung (MK)-lah yang akan memotret/menelaah dan menyidangkan berbagai kejadian itu sebagai perkara sengketa pemilu."

"Kita yakin MK tidak akan terpengaruh dengan berbagai kreasi pembentukan opini dan tekanan."

"Karena jika MK tidak adil, maka hasil pilpres semakin tidak legimet dan hanya menghasilkan presiden dan wakil presiden yang hanya bisa memandang tapi sulit untuk melangkah jauh."

Begitu broadcast yang kuterima pukul 21.30 WIB.

Broadcast ini seorang tim sukses dari salah satu kandidat.

Comments