Ibukota Negara Indonesia Pindah dari Jakarta ke Yogyakarta, 4 Januari 1946

Nyawa petinggi Indonesia semakin terancam setelah Jakarta jatuh ke tangan Netherland Indie Civil Administratie (NICA).

Presiden RI, Sekarno (1901-1970) mendapat teror dan ancaman beberapa kali.

Beberapa kali pula mobil yang dikendarai Soekarno ditabrak mobil tentara NICA.

Beruntung Soekarno masih selamat dari berbagai serangan tentara NICA.

Merasa nyawanya dan petinggi negara lain terancam, Soekarno (1901-1970) menggelar rapat terbatas pada 3 Januari 1946.

Rapat ini untuk mengambil keputusan tentang kelanjutan Indonesia setelah Jakarta jatuh ke tangan NICA.

Muncul usulan agar petinggi negara boyongan ke daerah lain.

Nantinya petinggi negara akan mengendalikan negara dari daerah itu.

Di antara daerah yang menjadi alternatif adalah Yogyakarta.

Sebelumnya Sultan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX (1912-1988) mengirim utusan ke Jakarta.

Utusan ini membawa surat untuk Soekarno.

Dalam surat itu, Hamengkubuwono IX menyarankan pemindahan ibukota negara ke Yogyakarta.

Rapat itu memutuskan semua pejabat negara harus meninggalkan Jakarta menuju Yogyakarta.

Pemilihan Yogyakarta ini dengan mempertimbangkan beberapa hal.

Pertama, Yogyakarta diapit dua benteng alam, yaitu Gunung Merapi di utara dan Samudra Hindia di selatan.

Keberadaan dua benteng alam ini membuat Yogyakarta tak mudah ditaklukan.

Kedua, Ratu Belanda, Juliana Louise Marie Wilhelmina van Oranje-Nassau (1909-2004) sangat dekat dengan Hamengkubuwono IX.

Bahkan Ratu Juliana dan Hamengkubuwono IX sangat akrab.

Bahkan Ratu Juliana dan Hamengkubuwono IX satu sekolah sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi di Belanda.

Kedekatan ini yang menyebabkan pemerintah Belanda di Indonesia segan menyentuh Hamengkubuwono IX.

Setelah peserta rapat setuju, mereka berencana boyongan ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946 malam.

Soekarno berpesan agar pejabat yang akan menuju Yogyakarta tidak membawa bekal apapun.

Bahkan Soekarno pun tidak membawa bekal untuk perjalanan menuju Yogyakarta.

Setelah memastikan boyongan, pejabat bingung cara menempuh perjalanan menuju Yogyakarta.

Bila rencana ini bocor dan diketahui NICA, seluruh pejabat pasti langsung dibunuh dalam sekali serangan.

Maka disusun rencana nekad.

Djawatan Kereta Api (DKA) diminta menyiapkan dua kereta, yaitu KA IL 7 dan IL 8.

Dua kereta ini kelak disebut Kereta Luar Biasa.

Dua kereta ini harus dimatikan lampunya dan berhenti didekat rumah Soekarno.

Saat itu Soekarno, M Hatta (1902-1980), dan seluruh menteri sudah berada di rumah Soekarno.

Mereka mengendap-endap menuju gerbong yang sudah disiapkan DKA.

Rencana ini memang sukses.

Kereta melalui jalur selatan Pulau Jawa, dan tiba di Yogyakarta pada keesokan harinya.

Hamengkubuwono IX memenuhi janjinya memberi perlindungan kepada petinggi negara selama di Yogyakarta.

Seluruh petinggi negara ditempatkan di lingkungan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Sedangkan Soekarno bertempat tinggal di Gedung Agung sekaligus menjadi Istana Presiden.

Belanda segera mengetahui pemindahan ibukota negara dan petinggi negara tersebut.

Tapi, Belanda tidak berani menyerang Yogyakarta.

Justru Belanda mendekati Hamengkubuwono IX.

Belanda menawarkan menjadi pemimpin pemerintahan bersama Indonesia-Belanda.

Tapi Hamengkubuwono IX menolak tawaran ini.

Ibukota negara dan pusat pemerintah kembali ke Jakarta pada 27 Desember 1949 setelah Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia.

Penyerahan kedaulatan ini menandai pengakuan Belanda terhadap kemerdekaan Indonesia.

Hari itu juga Soekarno dan pejabat tinggi negara kembali ke Jakarta.

Sebelum rombongan kembali ke Jakarta, Hamengkubuwono IX menyerahkan cek senilai enam juta gulden.

Hamengkubuwono IX berpesan agar dana itu digunakan untuk operasional roda pemerintahan.

Saat itu pemerintah memang belum memiliki dana operasional.

Dana ini yang dianggap utang Indonesia kepada Yogyakarta.

Comments