Ketika Bencana Menerjang...

Sudah kedua kali rumahku menjadi korban bencana angin kencang.

Bencana pertama menerjang sisi utara rumahku beberapa bulan lalu.

Beberapa genting berterbangan dan hancur.

Beruntung tidak ada korban dalam insiden itu.

Keluargaku sedang berada di rumah saudaraku.

Saat itu hanya ada beberapa tukang yang sedang merenovasi rumahku.

Beberapa aparat desa sempat datang ke rumahku.

Mereka memotret kondisi rumahku yang hancur.

Mereka menghitung perkiraan kerugian akibat bencana itu.

Mereka juga menyebut akan ada bantuan dari pemerintah daerah (Pemda) sebentar lagi.

Tapi mereka tidak mengungkap Pemda yang dimaksud itu Pemda tingkat I atau Pemda tingkat II.

Rumahku bukan satu-satunya yang menjadi korban bencana.

Berdasar informasi yang kuterima, bencana itu mengakibatkan sekitar 180 rumah rusak.

Aliran listrik di beberapa daerah juga terputus, termasuk rumahku.

Beberapa hari setelah bencana menerjang, saya menemukan bantuan dari Pemda tingkat II.

Tapi, tidak ada satu pun tetanggaku yang menjadi korban bencana mendapat kucuran bantuan.

Angin kencang kembali menerjang rumahku.

Kali ini terjadi pada Jumat (1/11/2013) lalu.

Kondisinya berbeda dengan bencana pertama.

Angin kencang menghantam bagian depan rumahku.

Kali ini keluargaku sedang ada di dalam rumah.

Sedangkan aku masih kerja.

Keluargaku langsung mengungsi ke rumah tetanggaku.

Tidak ada aparat desa yang datang.

Hanya beberapa tetanggaku yang datang membantu membenahi rumah.

Satu orang tetanggaku datang ke rumahku.

Aku memang meminta dia untuk membantu membersihkan puing-puing.

Keesokan harinya, aku sendiri yang membersihkan bekas reruntuhan.

Datangnya bencana ini memberiku satu pelajaran.

Uluran tangan dari pemerintah tidak bisa diandalkan.

Beberapa tetanggaku pun memandang sinis kepada pemerintah.

Menurutnya, pemerintah tidak selalu mengalirkan bantuan setiap bencana menerjang.

Bila korban tidak mendapat bantuan, itu sangat wajar.

“Bantuannya sudah dimakan oleh orang-orang di atas sana,” kata seorang tetanggaku.

Itulah sebabnya saya tidak pernah percaya dengan para politikus.

Mereka datang hanya saat menjelang acara demokrasi.

Seandainya bencana ini datang sebelum acara demokrasi, aku yakin para calon akan datang.

Berbagai bantuan akan disalurkan.

Minimal para kandidat menunjukan empatinya kepada para korban terdampak bencana.

Kedatangan dan bantuan dari para kandidat bukan tanpa pamrih.

Mereka pasti berharap korban bencana mengalir suaranya untuk mereka.

Banyak cerita para politikus menarik kembali bantuan yang sudah disalurkan.

Penarikan ini disebabkan suara mereka di daerah itu kurang memuaskan.

Beruntunglah aku diterjang bencana ketika event demokrasi tingkat desa sudah berlalu, dan event demokrasi tingkat nasional masih tahun depan.

Seandainya bencana ini datang sebelum acara demokrasi, aku harus membalas jasa para donator itu.

Padahal aku sendiri tidak mau hak pilih kuberikan kepada orang yang tidak kompeten dan populis.

Aku pernah mendengar pepatah yang mengatakan bahwa mencari orang kompeten dan populis sangat sulit.

Acara demokrasi adalah memilih orang terburuk dari orang-orang terburuk.

Jadi, kandidat terpilih adalah kandidat terbaik dari kandidat buruk.

Comments