Suara Takbir bagi Anak Kos

Suara takbir terdengar sejak siang tadi dari tempatku nongkrong.

Pengunjung di warung kopi tidak ada yang beranjak.

Mereka masih menikmati kopi yang telah dipesannya.

Rata-rata pengunjung warung kopi ini masih berusia remaja.

Ada pula dua pasang kekasih yang sedang kencan di warung kopi ini.

Menjelang Maghrib, doa pasang kekasih ini baru meninggalkan warung kopi.

Sedangkan pemuda lain tetap bertahan di warung kopi.

Melihat penampilannya, kemungkinan pengunjung warung kopi ini adalah mahasiswa.

Aku yakin mereka bukan warga asli Malang.

Mayoritas mahasiwa di Kota Malang adalah pendatang.

Mereka tinggal di kos yang disewa setiap tiga bulan, semester, atau tahunan.

Wajar bila mereka tidak peduli dengan suara takbir yang terdengar dari sebuah masjid atau musala.

Aku sudah lama menjadi anak kos.

Aku menjadi anak kos mungkin sekitar 10 tahun.

Kelakuanku selamat menjadi anak kos pun tidak berbeda dengan para pemuda yang sedang nongkrong.

Lebih senang waktu di luar kamar daripada berdiam diri di dalam kamar.

Tidak peduli dengan berbagai aturan lingkungan yang berlaku.

Toh tidak selamanya penghuni kos berdomisili di satu tempat.

Kalau tidak betah tinggal di satu kos, mereka bisa mencari kos baru.

Tentunya kondisi lingkungannya lebih nyaman dan tidak terlalu banyak aturan.

Itulah enaknya menjadi anak kos.

Mereka memiliki kebebasan dibandingkan warga kampung.

Warga kampung tidak mudah mencari tempat domisili.

Meskipun tidak betah, waga kampung harus tetap bertahan di daerahnya.

Pindah domisili sama saja mengorbankan banyak hal.

Warga kampung harus membeli tanah dan rumah bila ingin mencari tempat domisili baru.

Belum lagi mereka harus mengurus administrasi dari tempat asalnya.

10 tahun menjadi anak kos, aku tidak pernah terpikirkan suara takbir.

Aku pun tidak pernah peduli dengan semua pengumuman dari masjid.

Ketika warga berduyun-duyun ke masjid atau musala untuk menyembelih binatang kurban, aku lebih senang berada di kamar atau di warung kopi.

Aku baru peduli dengan takbir ketika pulang ke tempat kelahiran.

Aku harus menjadi warga kampung ketika di tanah kelahiran.

Di sisi lain, menjadi perantau atau anak kos juga ada tidak enaknya.

Anak kos tidak memiliki hak sosial apapun.

Contohnya, ketika pembagian hewan kurban, anak kos tidak akan mendapat bagian.

Kecuali bila anak kos membantu ikut menyembelih hewan kurban.

Sedangkan anak kos yang tidak membantu, dipastikan tidak akan mendapat bagian.

Setiap manusia memang memiliki parameter kenyamanan yang berbeda.

Ada ingin menikmati kebebasan dengan menjadi anak kos.

Ada pula yang menganggap kenyamanan ketika memiliki rumah sendiri dan tempat domisili tetap.

Mayoritas manusia modern menilai pilihan kedua yang paling rasional.

Bahkan tempat domisili kadang menjadi parameter kesuksesan seseorang.

Comments