Peminta yang Aneh

Tidak biasanya aku nongkrong di warung di depan Terminal Landungsari pada siang hari.

Biasanya aku nongkrong di sekitar Dinoyo atau Jetis.

Meskipun aku nongkrong di depan Terminal Landungsari, biasanya sore atau malam hari.

Entah mengapa hari ini saya ingin nongkrong di depan Terminal Landungsari.

Saat baru memarkir motor, seorang perempuan tua datang menghampiriku.

Usianya sekitar 50 tahun lebih.

Pakaiannya terlihat lusuh.

Warna biru muda pakaiannya sudah luntur.

Kelihatannya sudah beberapa hari dia tidak mencuci baju, dan mungkin tidak mandi.

Di sela giginya terlihat bercak warna merah, seperti darah.

Perempuan itu minta uang saya.

"Rp 2000 saja," katanya.

Aku teringat bahwa di kantongku tidak ada uang Rp 2000.

Di dompetku hanya ada uang Rp 50.000.

Itu pun hanya selembar.

Tidak ada uang lain, baik di dompet maupun di kantong.

Aku pun minta maaf kepadanya karena tidak bisa memberinya uang.

Dia tetap berdiri di hadapanku sambil ngotot minta uang Rp 2.000.

Aku katakan lagi bahwa aku tidak memiliki uang kecil.

Di luar dugaanku, dia memintaku agar menukar uang di warung tempatku akan nongkrong.

“Kamu beli apa saja, saya tunggu. Saya hanya minta uang Rp 2.000,” katanya.

Dua orang pemuda di depanku pun melonggo melihat sikap perempuan tua itu.

Melihat raut mukanya, dia terlihat heran.

Sebelum datang kepadaku, perempuan tua itu memang datang ke dua pemuda itu.

Dia pun minta uang Rp 2.000.

Berbeda denganku, dua pemuda itu memberikan uang Rp 2.000 kepada perempuan tua itu.

Tak mau berdebat dengan perempuan tua itu, aku langsung meninggalkannya.

Aku menuju meja kasir dan memesan minuman.

Di kafe ini, pembeli tidak langsung membayar minuman pesanan.

Pembayaran baru dilakukan setelah pembeli akan meninggalkan kafe.

Makanya tadi aku ngotot tidak bisa memberi uang kecil kepada perempuan tua itu.

Saat membalikkan badan dari meja kasir dan mencari tempat duduk, aku sudah tidak melihat perempuan itu.

Aku tidak tahu perempuan tua itu berlalu ke arah barat atau timur.

Selain perempuan tua itu, beberapa kali pengamen masuk ke kafe.

Aku pun tak bisa memberikan uang kepada mereka.

Dari beberapa pengamen itu, ada seorang pengamen berbadan subur.

Dia mengenakan pakaian serba hitam.

Warnanya sudah mulai memudar.

Penampilannya pun acak-acakan.

Aku pun mengatakan, "Maaf" saat dia datang menghampiriku.

Dia memang berlalu setelah mendengar ucapanku.

Tapi matanya melotot ke arahku.

Aku tidak tahu apa maksud tatapannya itu.

Selama ini aku memang sering berhadapan dengan peminta.

Beragam cara para peminta mengetuk hati orang.

Mulai dengan cara memasang mimik wajah melas, menyodorkan amplop atau kotak sumbangan, sampai memainkan alat musik tertentu.

Mungkin dua peminta itu yang menurutku paling aneh.

Comments