Demokrasi yang Konyol

Semua warga dusun mendapat undangan dari Ketua RT.

Dalam undangan itu disebutkan akan ada pemilihan kamituwo .

Sesuai undangan, semua warga datang ke rumah RT.

Dalam pengamatanku, tidak ada warga yang absen.

Sedikitnya 50 orang hadir dalam pertemuan itu.

Pemilihan kamituwo berbeda dengan pemilihan kepala desa, anggota dewan, atau presiden.

Tidak ada tempat pemunggutan suara (TPS).

Warga cukup datang ke rumah Ketua RT. Itu pun hanya kaum pria.

Tidak ada satu pun kaum wanita yang diundang.

Aku tidak tahu apa pemilihan kaum wanita tidak diundang dalam kamituwo.

Sebelum coblosan dimulai, ketua RT membacakan aturan main coblosan.

Sebagaimana coblosan biasanya, setiap warga hanya memiliki satu suara.

Setiap warga bisa memilih calon nomor satu atau nomor dua.

Memilih selain nomor satu atau dua dianggap tidak sah.

Coblosan pun tidak dilakukan di bilik suara.

Setiap warga langsung menuliskan nomor urut calon dari tempat duduknya.

Seakan tidak ada rahasia di antara warga.

Aku masih bisa mengintip pilihan warga lain.

Begitu pula warga lain bisa mengintip pilihanku.

Tapi tidak ada saling protes terhadap pilihan seseorang.

Kami saling memahami pilihan setiap individu.

Setelah coblosan selesai, ketua RT mengatakan bahwa hasil pemungutan suara belum final.

Artinya, calon peraih suara terbanyak belum tentu yang akan menjadi kamituwo .

Setelah proses pemilihan, masih ada tahapan yang harus dilalui calon kedua, yaitu wawancara.

Proses ini tidak dilakukan secara terbuka.

Hanya kepala desa yang melakukannya.

Layak atau tidaknya kamituwo tergantung hasil wawancara.

Mendengar penjelasan ini, warga langsung ngedumel.

Ada yang mengatakan percuma ada pemilihan kalau hasilnya tidak menentukan.

Ada pula yang mengatakan siap demonstrasi bila calon yang menang tidak menjadi kamituwo.

Beberapa warga lain memilih diam daripada mengeluarkan isi hatinya.

Bagi ketua RT, tugasnya hanya melakukan pemilihan dan menyerahkan hasilnya ke kepala desa.

Proses pemilihan ini berbeda dengan pemilihan kepala desa, anggota dewan, atau presiden.

Pemenang bisa langsung duduk manis di kursi incarannya.

Tidak perlu ada proses wawancara atau interview.

Hanya sebagaian kecil warga yang mengetahui kemampuan kandidat pilihannya.

Tidak mengherankan ada kades, anggota dewan, atau presiden yang lebih banyak diam daripada berbicara di hadapan publik.

Bagi penduduk desa, calon pemimpin tidak harus orang pintar.

Siapapun bisa mencalonkan diri menjadi calon pemimpin.

Tapi, orang desa akan memilih calon yang paling dekat dengan warga.

Warga sudah memahami karakter calon pemimpin pilihannya.

Warga hanya ingin pemimpin pekerja keras.

Banyaknya teori yang dimiliki tidak penting.

Tidak masalah calon pemimpin hanya lulusan SD atau tidak sekolah.

Asalkan calon pemimpin itu bisa dekat dengan warga, kemungkinan besar akan terpilih.

Sebelum menutup pertemuan, ketua RT menambahkan ucapannya.

Sebenarnya kepala desa bisa saja langsung menujuk kamituwo.

Karena mayoritas warga ingin dilibatkan dalam pemilihan kamituwo, kepala desa pun menggelar pemilihan.

Hak prerogatif pemilihan dan pemecatan kamituwo tetap ada di tangan kepala desa.

“Lalu apa manfaatnya kepala desa melibatkan warga untuk memilih kamituwo?” kata seorang warga.

Comments