Belanda Bubarkan Kerajaan Aceh, 13 Oktober 1880

Tidak lama setelah menandatangani Traktat Sumatera dengan Inggris tahun 1871, Belanda menyatakan perang dengan Kerajaan Aceh.

Surat pernyataan perang ditulis Komisaris Pemerintah Belanda, Niewenhujien dari atas kapal perang Citdel van Antwerpen.

Surat kepada Sultan berbunyi, "Dengan ini atas dasar kewenangan dan kekuasaan yang diberikan kepada Pemerintah Hindia Belanda, dengan ini menyatakan perang kepada Sulthan Aceh".

Surat ditujukan kepada Sultan Aceh, Sulthan Alaiddin Mahmud Syah.

Sulthan pun membalas surat ini dengan kalimat, "Kami hanya orang miskin. Kami dan juga Gubernemen Hindia Belanda, berada di bawah perlindungan Tuhan yang Maha Kuasa".

Sepekan setelah korespondensi ini, Belanda mendaratkan pasukannya di bumi Aceh.

Tentara Belanda di bawah pimpinan Wali Kota Jenderal Johan Harmen Rudolf Kohler mendarat di Pantai Ceureumen.

Enam kapal merapat ke Pantai Ceureumen, yaitu Djambi, Citaden van Antwerpen, Marnix, Coehoorm, Soerabaja, dan Soematra.

Dua angkatan laut ikut dikerahkan, yaitu Siak, dan Bronbeek.

168 perwira dan 3.198 pasukan ikut dalam serangan perdana ini.

Belanda melancarkan serangan di dua titik, yaitu Masjid Raya dan Kerajaan Aceh.

Masjid Raya menjadi sasaran karena menjadi pusat kegiatan pemerintahan.

Sedangkan Kerajaan sebagai simbol pemerintahan.

Belanda sempat menguasai Masjid Raya setelah melakukan serangan selama empat hari.

Tapi, Kerajaan Aceh berhasil merebut kembali Masjid Besar tidak lama kemudian.

Belanda tidak pernah berhasil menyerang Kerajaan Aceh.

Kohler tewas dalam pertempuran perebutan Masjid Raya kedua.

Tewasnya Kohler menjadi pukulan bagi pemerintah Hindia Belanda.

Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan pasukan meninggalkan Aceh setelah gagal merebut Masjid Raya dan menguasai Kerajaan Aceh.

Belanda kembali menyerang Aceh setahun kemudian.

Kali ini tentara Belanda di bawah pimpinan Jan van Swiete.

Jumlah tentara yang dikerahkan dalam ekspedisi kedua lebih besar dibandingkan ekspedisi kedua.

Diperkirakan sekiar 10.000 pasukan dikerahkan di bawah pimpinan Swiete.

Selain itu, 4.500 pembantu dan kuli dikerahkan untuk membantu kebutuhan pasukan.

Sedangkan di Kerajaan Aceh, suksesi kekuasaan baru saja terjadi.

Sultan Mahmud yang meninggal telah diganti oleh Tuanku Muhammad Dawood.

Serangan bertubi-tubi ke kerajaan membuat Tuanku Muhammad Dawood dan pasukannya menyerah.

Mereka terpaksa meninggalkan Banda Aceh, dan melarikan diri ke perbukitan dan hutan.

Belanda langsung menguasai Kerajaan yang dalam keadaan kosong.

Belanda mengumumkan pembubaran Kerajaan Aceh pada 13 Oktober 1880.

Setelah kerajaan jatuh ke tangan Belanda, Sultah Aceh beberapa kali memindah ibukota kerajaan.

Keumala Dalam, Indrapuri, dan beberapa kota lainnya pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Aceh.

Sultan Aceh menerapkan perang gerilya untuk menghadapi Belanda.

Perang gerilya ini terus dilakukan sampai menyerahnya Belanda kepada Jepang.

Sampai meninggalkan Aceh, Belanda belum pernah menguasai seluruh daerah Sumatera, khususnya Aceh.

Comments