Ketika Wanita Bekerja (II)

Aku bukannya tidak setuju bila wanita bekerja di sektor publik atau di luar rumah.

Sejak duduk di bangku kuliah, aku tidak mempermasalahkan wanita bekerja di sektor publik.

Termasuk wanita yang sudah berumah tangga.

Toh pendapatannya bukan untuk mereka sendiri.

Mereka pasti bekerja untuk memenuhi kehidupan keluarga dan masa depan anak-anaknya.

Yang perlu diingat, masa depan anak tidak hanya tergantung pada materi.

Kebutuhan rohani atau psikologis anak juga harus diperhatikan.

Justru kebutuhan rohani atau psikologis anak inilah yang paling penting.

Bahkan mental anak ditentukan dari banyaknya keterpenuhan kebutuhan rohani atau psikologis anak.

Tapi, banyak orang tua yang mengabaikan kebutuhan rohani atau psikologis.

Pemenuhan kebutuhan materi dianggap lebih penting.

Apapun kebutuhan materi anak dipenuhi, mulai dari pendidikan formal sampai kebutuhan lainnya.

Apalagi anak paling sering rewel bila kebutuhan materinya tidak terpenuhi.

Seperti, anak lebih mudah menangis bila tidak diberilan mobil-mobilan.

Padahal anak juga sering menangis ketika tidak ada orang yang melindunginya.

Orang tua yang sama-sama bekerja di sektor publik akan menyerahkan pemeliharaan kepada kakek, nenek, anggota keluarga lain, tetangga, atau pembantu.

Hubungan emosional anak baru terbangun ketika diperkenalkan kepada ‘orang lain’ ini.

Meskipun yang memelihara adalah kakek, nenek, atau anggota keluarga, anak tetap memandang mereka masih bagian dari orang lain.

Mereka bukan anggota keluarga inti yang hubungan emosionalnya sudah terbangun sebelum anak lahir.

Hubungan emosional antara anak dan pengasuhnya bisa saja segera terbangun.

Tapi, anak tidak akan bisa merasakan kenyamanan.

Apalagi ketika pengasuhnya baru saja memarahinya.

Anak membutuhkan perlindungan dari orang lain.

Ketika tidak menemukan orang lain yang mampu melindunginya, anak memilih memendam perasaannya.

Mereka tidak berani mengemukakan kebutuhan psikologisnya kepada orang lain, termasuk orang tuanya.

Inilah awal terciptanya jarak antara anak dengan orang tua.

Memang orang tua memiliki waktu sebelum atau setelah kerja untuk anak-anaknya.

Tapi, seberapa tinggi intensitas waktu itu dimanfaatkan untuk anak.

Sebelum berangkat kerja, orang tua pasti sibuk mempersiapkan kebutuhan kerjanya.

Begitu pula anak sedang sibuk mempersiapkan diri kebutuhan sekolahnya.

Setelah pulang kerja, tenaga orang tua sudah terkuras.

Mungkin hanya sesekali saja orang tua menanyakan kabar, kebutuhan, atau permasalahan yang dihadapi anak.

Aku sering heran dengan motivasi orang tua yang sama-sama bekerja di sektor publik.

Aku yakin mereka terdorong sama-sama bekerja bukan hanya pendapatan suami tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup.

Dalam kasus ini, banyak suami yang pendapatannya dua kali lipat dari Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) yang berlaku.

Artinya, pendapatannya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan selama sebulan.

Memang ada beberapa suami yang pendapatannya di bawah UMK.

Para suami ini pun mengizinkan istrinya bekerja di sektor publik.

Pada kasus ini, mereka memang dituntut mencari pendapatan agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.

Meskipun ada sebagaian pendapatan yang disisihkan, hanya sebagaian kecil.

Sebenarnya suami atau istri tidak perlu sama-sama bekerja di sektor publik.

Biasanya pekerjaan di sektor publik memiliki masa kerja tertentu.

Bahkan di usia tertentu, pekerja akan dipensiunkan.

Ketika suami atau istri sama-sama memasuki masa pensiun, mereka masih butuh aktivitas.

Tidak mudah mencari aktivitas setelah pensiun.

Uang pensiun pun tidak mudah dimanfaatkan untuk membangun bisnis.

Sebab, bisnis tidak bisa berkembang hanya dalam waktu setahun atau dua tahun.

Di sisi lain, suami-istri yang sama-sama bekerja di sektor publik hanya menjauhkan dengan anak-anaknya.

Setelah suami-istri memasuki masa pensiun, tidak ada rasa emosional yang tersisa di jiwa anak.

Anak cenderung menikmati aktivitasnya sendiri.

Padahal orang tua yang sudah sangat butuh peranan anak.

Apalagi aktivitas dan tingkah laku orang tua yang sudah uzur tidak berbeda jauh dengan balita.

Untuk menyiasati jauh dari anak saat usia udzur, ada baiknya ekonomi keluarga hanya ditopang oleh satu orang.

Bila suami bekerja di sektor publik, istri bisa membantu di sektor non-formal.

Mungkin rezeki tambahan bisa dicari melalui bisnis di rumah.

Toh pendapatan istri hanya untuk tambahan pemasukan.

Pendapatan istri baru akan digunakan bila pendapatan suami tidak mencukupi kebutuhan bulanan.

Comments