Calon Perawat Harapan Keluarga

Seorang ibu paruh baya terlihat gelisah.

Dia duduk di ruang tengah rumahnya. membuka pintu dan menengok keluar.

Setelah dipastikan yang ditunggu tidak datang, dia kembali masuk ke ruang tengah.

Belum lama duduk di depan televisi, dia kembali berdiri dan membuka pintu.

Pintu rumah kembali ditutup setelah melihat kembali keluar rumah.

Jam di dinding sudah menunjukan pukul 19.00 WIB.

Putri bungsungnya yang baru duduk di kelas X SMK di Kota Malang masih belum pulang.

Si putri sempat menelepon dijemput di sekitar Lapangan Rampal.

Si bapak yang tidak terlalu hafal kondisi Kota Malang pun memenuhi permintaan putri bungsunya.

Suara motor terdengar masuk pelataran rumah.

Itu adalah motor yang dikendarai bapak.

Tanpa berkata apa-apa, bapak langsung masuk rumah.

Diraihnya segelas air putih, dan langsung diminumnya.

Wajahnya terlihat lesu.

Tidak ada di bungsu di belakang.

“Saya tidak bertemu dia. Saya sudah dua kali berputar di Lapangan Rampal,” kata bapak setelah menghabiskan segelas air putih.

Si bungsu adalah anak kelima pasangan suami-istri ini.

Sekolahnya sangat berbeda dengan empat kakaknya.

Dulu kakak-kakaknya sudah sampai di rumah setelah enam atau tujuh jam di sekolah.

Kalau sekolah masuk siang, maksimal pukul 18.00 WIB tiba di rumah.

Tapi si bungsu ini berangkat pagi, dan terdengar sampai adzan Isya' masih belum pulang.

Lokasi sekolah si bungsu pun paling jauh dibandingkan dengan empat kakaknya.

Empat kakaknya sekolah tidak jauh dari Singosari.

Kakak ketiganya memang sempat sekolah di Kota Malang.

Tapi lokasi sekolah kakak ketiga ini masih berada di perbatasan antara Kabupaten Malang dan Kota Malang.

Sedangkan si bungsu sekolah di tengah kota.

Si ibu memang sudah memahami resiko yang akan dialaminya dengan menyekolahkan si bungsu di tengah kota.

Apalagi lokasi sekolahnya sangat dekat dengan pusat perbelanjaan, Malang Town Square (Matos).

Tapi, si ibu berusaha menepis resiko itu demi cita-cita si bungsu.

“Aku ingin menjadi perawat.”

Itulah permintaan si bungsu setelah lulus SMP lalu.

Si ibu pun mewujudkan cita-cita si bungsu.

Empat kakaknya dianggap gagal meniti penghargaan.

Kakak pertama beberapa kali bekerja di perusahaan finance, dan sekarang menganggur.

Kakak kedua dan kakak ketiga hanya menjadi ibu rumah tangga.

Kakak keempatnya hanya pegawai biasa di perusahaan rokok.

Si bungsu inilah yang menjadi harapan keluarga.

Memang butuh kuliah untuk menjadi seorang perawat.

Melihat tetangga depan rumahnya, tanpa kuliah pun sudah bisa mencari rejeki.

Meskipun demikian hanya menjadi asisten perawat.

Mungkin bagi si ibu, menjadi asisten perawat lebih baik daripada bekerja di perusahaan keuangan atau perusahaan rokok.

Pekerjaan bisa mengangkat status sosial seseorang.

Pegawai kera putih dianggap lebih baik daripada pegawai kera biru.

Pekerja kerah biru dianggap lebih baik dibandingkan tukang becak.

Begitu pula anggapan si ibu yang menganggap asisten perawat lebih baik daripada bekerja di perusahaan rokok, perusahaan keuangan, dan sebagainya.

Sebelum memutuskan akan menyekolahkan si bungsu di sekolah perawat, si ibu sempat minta pendapatku.

Aku pun setuju dengan permintaan si bungsu.

Pernyataan setuju ini bukan berarti aku setuju dengan hierarki pekerjaan yang akan menentukan status sosial.

Aku menilai si bungsu hanya perlu mengembangkan bakat sesuai keinginannya.

Biasanya bakat yang mendapat dukungan dari orang lain lebih mudah berkembang daripada bakat yang selalu ditekankan.

Aku berharap si bungsu bisa mewujudkan mimpinya.

Meskipun baru di sekolah perawat selama dua bulan, si bungsu sudah mampu menunjukan kemahirannya.

Dia sudah bisa mengukur tensi darah para kakaknya.

Comments